SEPERTI PUISI TANPA RIMA




Akan ada hari dimana kau ingin menghentikan waktu untuk selamanya, entah karena perasaanmu terlalu bahagia atau karena kau tak siap berkubang dalam kehilangan yang menyiksa. Dan hari ini aku ingin menghentikan waktu untuk alasan yang pertama.

Minggu sore yang ia janjikan itu kini benar-benar kejadian. Ia menepati janji untuk mengajakku bertemu teman-teman kecil di tepian sungai. Aku sangat bahagia, bukan hanya karena bisa menikmati lebih banyak waktu bersamanya tapi juga karena bertemu sahabat-sahabat baru. Anak-anak yang ceria dan tidak menuntut apa-apa selain waktu dan perhatian yang lebih. Meski tidak pernah punya banyak kesempatan untuk beraktivitas bersama anak kecil, aku sangat menyukai mereka. Ada tujuh orang anak yang hadir bersama kami sore ini. Kata Miko jumlah itu tidak sampai separoh dari keseluruhan. Biasanya akan lebih banyak anak yang datang, namun hari ini mereka semua berhalangan hadir. 

“Beberapa di antara mereka ada yang bekerja, sisanya mungkin ada halangan lain,” cerita Miko padaku.

Aku sedikit kecewa karena tidak berkesempatan menemui keseluruhan dari mereka, tapi rasa kecewa itu tidak bertahan lama. Antusiasme yang sangat besar dari anak-anak itu meningkatkan semangatku berkali-kali. Hari ini Miko membiarkanku untuk mengambil alih forum. Aku mengajak mereka bercerita tentang keseharian mereka, bergantian membaca dongeng, lalu masing-masing dari mereka akan menanggapi apa yang disampaikan oleh teman-temannya. Usai itu kami bermain tebak-tebakan. Semuanya berjalan dengan sangat menyenangkan. 

Meski jika diperhatikan, kondisi anak-anak di pinggiran sungai ini memang cukup memprihatinkan. Kebanyakan dari mereka tidak berkesempatan menduduki sekolah formal. Kata Miko, faktor utamanya adalah kemiskinan. Sebagian besar orangtua yang tinggal di lingkungan ini tidak mempunyai penghasilan tetap. Hal itu kemudian mempengaruhi motivasi orangtua dan anak dalam bidang pendidikan. Minat mereka pada aktivitas belajar mengajar sangatlah rendah. Bagaimana tidak, sejak kecil anak sudah terbiasa bekerja membantu orangtua menghidupi keluarga, kemiskinan tidak hanya merenggut waktu bermain dan belajar mereka tetapi juga kesempatan untuk menjalani kehidupan yang lebih layak. 

“Aku tinggal tidak jauh dari lingkungan ini. Itulah yang menggerakkanku untuk berbuat sesuatu Nin, rupanya ketimpangan itu begitu nyata dan berada tidak jauh dari rumahku,”
“Apa yang terjadi di sini adalah bukti nyata dari ketidakberhasilan pemerintah kota dalam memberikan pembangunan yang merata. Kota selalu menjadi prioritas dan masyarakat pinggiran nyatanya makin terpinggirkan. Padahal jika pemerintah mau peduli, daerah pesisirlah yang perlu digenahi terlebih dahulu. Tentu bukan lewat kebijakan-kebijakan yang hanya menyentuh permukaan tapi harus sampai pada akar dari permasalahan itu sendiri.”

Seperti biasa ia selalu berbicara tanpa jeda. Kadang ia berbicara begitu saja, seolah aku akan terus bersedia mendengarkan apa saja yanga keluar dari mulutnya.

“Teruslah bekerja, jangan berharap pada negara,” aku menanggapinya dengan tangkas, mencoba mengulang kata-kata yang pernah ia tuturkan sebelumnya.

Ia hanya tersenyum kecut dan merapalkan hal serupa. 

Setelah itu kami mencari tempat yang lebih nyaman untuk bicara. Tidak jauh dari ruangan sederhana yang mereka sebut ruang belajar itu ada kursi kayu yang menghadap langsung ke sungai. Kami menikmati sisa sore di situ dengan beberapa botol minuman yang Miko beli sebelumnya. Kata Miko kursi kayu ini adalah spot favorit untuk menikmati keindahan sore di sini. Ia dan beberapa temannya sering ke sini bahkan untuk sekadar melarikan diri dari kota yang semakin padat.

Lalu topik-topik berat seputar politik dan pemerintahan mulai berganti pembicaraan ringan dan menenangkan. Ia tiba-tiba ingin tahu soal keseharianku. Seperti apa biasanya aku menghabiskan waktu serta dengan siapa aku melewatinya. Kami bertukar cerita tentang kucing-kucing nakal yang senang bermain di pekarangan rumah atau tentang bagaimana kami dianggap aneh oleh orang-orang di sekitar, karena tentu saja jenis manusia seperti kami berdua cukup langka di dunia ini. Setelahnya kami akan sama-sama menertawakan kehidupan sendiri. Menyadari bahwa kami memiliki banyak kesamaan dan manusia seperti kami ternyata sangat paradoks, kehidupan dapat terlihat begitu rumit dalam banyak hal namun pada kesadaran yang lain tidak jarang juga kami terkesima oleh hal-hal sederhana. Kalau boleh jujur aku lebih senang jika kami membicarakan hal-hal biasa dan tidak terlalu lama terjebak dalam pembicaraan yang memusingkan kepala. Ia akan terlihat berbeda, lebih lepas, lebih apadanya dan aku tentu saja menyukainya.

Bersamanya membuatku menyadari bahwa ada begitu banyak perasaan di dunia ini yang kadang tidak sanggup kita namai. Seringkali lekat dan akrab tapi tak bertemu kosakata yang cukup kuat untuk memaknai. Begitulah yang kurasakan sekarang padanya. Seperti barisan puisi yang terangkai begitu saja tanpa membutuhkan rima yang terikat mencari makna. Seperti alunan nada yang tak membutuhkan aksara untuk mengerti maksud sebenarnya. Seperti itulah aku merasakan kehangatan hatinya, perangainya. Pelan-pelan perasaan tak bernama itu membuat hatiku merasa dekat. Sangat dekat, sampai-sampai membuatku yakin kalau ia merasakan hal yang sama. Tapi apa benar ia merasakan hal yang sama sepertiku ?

Sembari memandangnya yang mulai tenang menikmati pemandangan, hatiku kembali kecut. Mungkinkah aku benar-benar telah jatuh cinta atau ia hanya obsesi semata ?

Di sebelah barat semburat mentari yang ingin kembali ke peraduannya seolah bercermin pada hamparan air di bawahnya. Keindahan sederhana yang membawaku pada sebuah kesadaran bahwa yang berjarak seperti bumi dan langit pun ternyata saling jatuh cinta. Yang satu menghampar keindahan, yang satu memantulkannya dari kejauhan. Yang satu menangis kesedihan, yang satu basah merasakan. Sungguh, ini adalah sore paling nyaman yang pernah kurasakan seumur hidupku. Diam-diam aku menitip do’a pada mega-mega di langit jingga itu, semoga keajaiban-keajaiban seperti ini terus berulang dalam hidupku.

“Suatu saat, apa kita bisa menjadi ibu bumi dan ayah langit bagi semesta kita yang kini berjauhan ?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena