SEPASANG MATA YANG CEMBURU




Kata orang, jika sebuah rasa yang seringkali menggerogoti akal sehatmu itu tidak menyakitimu maka rasa itu belum layak kau sebut cinta.

Entahlah, satu dari sekian banyak pertanyaan besar dalam hidupku adalah mengapa kita butuh balasan dalam mencintai ? Kenapa menyayangi seseorang harus menunggu jawaban ? Padahal mencintai adalah naluri alami seorang manusia, kita tidak butuh ijin untuk menyayangi sesama tetapi kenapa kita selalu butuh pengakuan ? Apa benar kita mencintai sesorang atau sebenarnya kita hanya ingin dicintai ?

Di atas itu semua, bagiku cemburu adalah hal yang berbeda. Cemburu adalah rasa yang tiba-tiba saja menggerogoti semua hal baik yang ada di dalam hatimu. Ia seperti benalu yang pelan-pelan membuatmu mati. Mungkin cemburu adalah bentuk lain dari rasa kagum yang berlebih, rasa ingin memiliki yang terlalu besar.

Malam itu apa kau tidak menyadari ada sepasang mata yang cemburu ketika kau berbicara dengan begitu hangat bersamanya ?

Berbeda dengan malam sebelumnya, malam itu usai perkuliahan Miko mengajakku untuk menemui seorang teman di kantin belakang musholla – tempat pertama kali kami bicara banyak hal. Katanya ia akan mengenalkanku dengan seorang perempuan yang istimewa, dan mirip sepertiku.

“Kamu pasti bakalan suka ketemu dia, aku jamin kalian akan jadi teman dekat,”

Aku berbesar hati menerima semua tawarannya, meski tiba-tiba saja seperti ada awan mendung yang menggelayut di dasar hati. Tanpa berpikir lagi, aku mengekor Miko yang seperti sudah tidak sabaran ingin tiba di kantin yang berjarak tidak terlalu jauh dari ruang kelas kami. Sesampai di kantin, ia begitu antusias. Dari balik kacamatanya, dapat kulihat kebahagiaan terpancar di sana. Ia menunjuk perempuan yang duduk membelakangi arah masuk kantin yang hanya bisa kulihat punggungnya dari kejauhan.

Perempuan itu punya rambut pendek dengan potongan model bob yang rapi, tubuhnya tinggi besar sama seperti Miko.

“Hey, Vine. Udah lama nunggu ya,” perempuan itu sedikit terkejut ketika Miko menyapanya dari belakang.

Ia lantas berdiri dan memperkenalkan diri.

“Halo, aku Vine. Kamu pasti teman baru Miko yang kemarin ikut ke Ruang Belajar ya,” sapanya dengan senyum hangat yang menenangkan.

Hatiku bergetar ketika berhadapan langsung dengan sosok perempuan yang disebut-sebut Miko istimewa ini. Secara fisik ia memenuhi standar wanita cantik yang ada di negeriku. Lebih dari itu dia semacam punya aura yang kuat, yang bisa membuat semua orang di sekitarnya jatuh cinta. Celaka pikirku, belum mengetahui isi kepalanya saja hati dan pikiranku sudah kalah duluan.

“Iya aku Anin kak, salam kenal ya,”

“Selamat bergabung bersama kami ya Nin, ketika kamu sudah sampai ke Ruang Belajar dan bertemu adik-adik di sana kamu sudah jadi bagian dari kami,” ia mengatakan kata-kata itu dengan sangat teratur. Perempuan ini tidak hanya mahir berbicara tapi juga pandai mengambil hati lawan bicaranya.
“Iya Nin, ini temanku yang kuceritakan kemarin. Aku dan dia yang menginisiasi Ruang Belajar itu. Kemarin waktu kuajak kamu ke sana dia berhalangan hadir,” Miko memberi penjelasan, aku hanya mengangguk mendengarkan.

Vine rupanya juga mahasiswa di kampus kami, dia berada satu semester di bawah Miko. Berbeda dengan Miko yang memilih gerakan bawah tanah dan berada di luar sistem, Vine justru terlibat aktif dalam beberapa organisasi kampus. Betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa dia menjabat sebagai ketua umum organisasi pers kampus yang terkenal dengan pemberitaan kritis terhadap pihak kampus itu. Ia juga seringkali terlibat bersama para senior di LBH kampus dalam mendampingi orang-orang yang termarjinalkan. Mengetahui segala tentangnya malam ini membuatku merasa seperti butiran debu di tengah luasnya padang pasir. Tidak ada apa-apanya !

Hatiku benar-benar perih, seperti ada yang menikam-nikamnya dengan benda tumpul berulangkali. Tidak sampai berdarah tapi cukup membuat lebam. Mereka begitu hangat ketika berbicara, kuterka dari matanya Miko menyimpan banyak sekali perasaan tak terbaca kepada perempuan luar biasa itu. Sesekali mereka melibatkanku dalam pembicaraan mereka yang berat, meski kadang aku merasa bahwa aku hanya semacam properti, benda mati yang menjadi hiasan meja tempat mereka bicara.

Aku benar-benar telah kalah, mati sudah pohon harapan yang baru saja kusemai di dasar hati. Membayangkan mereka berdua selalu melewati hari bersama sudah cukup membuatku luka, apalagi melihat keduanya begitu bergairah bahkan dalam pembicaraan yang serius dan memusingkan kepala begini.

Malam itu aku tidak banyak bicara, mataku enggan menyembunyikan luka. Ia murung dan mendung, tak bercahaya seperti biasanya ketika aku bertemu Miko. Kurasa jika ada orang lain lagi selain kami bertiga yang terlibat dalam pembicaraan itu, maka ia akan tahu kalau satu dari dua orang perempuan di meja itu sedang cemburu. Akhirnya aku memilih pulang lebih dulu, aku berdalih kalau kak Fany sudah menungguku di rumah untuk mengerjakan sesuatu. Aku tidak sanggup menahan luapan emosi yang sudah merembes kemana-mana.

Vine dan juga Miko menyayangkan keputusanku. Perempuan yang membuatku cemburu itu memelukku erat dan berharap punya banyak kesempatan untuk berbincang denganku. Aku membalas pelukannya dengan perasaan tidak nyaman. Perempuan sepertiku saja bisa jatuh hati padanya, apalagi seorang lelaki ?

Sebelum benar-benar pulang ke rumah, aku melintasi lorong di depan kantin itu sekali lagi. Dari kejauhan dapat kulihat mereka masih begitu hidup dalam percakapan yang entah apa. Diam-diam aku berucap pada sosok yang kutinting dari kejauhan itu, “Apa kau masih tidak menyadari ada sepasang mata yang cemburu ketika kau berbicara dengan begitu hangat bersamanya ?”

“Apa kau tau ? Sesungguhnya aku sedang takut. Aku takut kau jatuh cinta kepada seseorang yang bukan aku, dan terperangkap begitu lama di sana.”




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena