PELARIAN TANPA UJUNG



Apalagi yang lebih sia-sia dari manusia selain kepiawaiannya menarik kesimpulan sendiri ?
Hidup tiba-tiba saja seperti cuplikan gambar yang bergerak begitu pelan. Orang-orang berlalu lalang, ada yang tertawa riang, ada yang berwajah tak senang. Dalam kehidupan yang lebih terlihat seperti sebuah diorama bagiku kini, aku memosisikan diri sebagai penonton. Menyaksikan orang-orang yang sibuk dengan dunia mereka, menyisakan aku yang sibuk dengan duka nestapa.
Sesekali mereka menyapu pandang padaku, mungkin terheran melihat seorang perempuan yang duduk berjam-jam di sebuah kursi lorong utama kampus, menyumpal telinganya dengan sumber suara yang berasal dari smarthphone di pangkuan dan menatap tak karuan ke sekitar. Kepada mereka yang menaruh beragam prasangka aku hanya melempar tatapan datar sembari berkata lemah dalam hati. “Sudahlah lanjutkan saja aktivitasmu, jangan pedulikan aku.”
Setelah malam kelabu yang meruntuhkan semua harapanku itu, hari-hariku terasa begitu lama berlalu. Aku merasa terlalu buruk dalam segala hal. Aku kehilangan kepercayaan diri dan terus menyalahkan diri sendiri. Aku kesulitan tidur, tidak berselera dengan banyak hal dan berharap bisa mati rasa dalam sekejap. Segalanya terasa begitu sulit, betapa patah hati bisa menjadi semenyebalkan ini.
Dua minggu sudah aku tidak bertemu Miko dan tentu saja tidak mengetahui kabarnya. Setelah susah payah berdamai dengan diri sendiri aku memutuskan untuk berhenti masuk kelas malam dan kuliah secara normal. Suasana kampus juga sudah cukup membaik, senior-senior yang senang menunggui kami di depan pintu kelas itu kini sudah cukup lelah dan masa bodoh. Jadi aku sudah tidak punya alasan lagi untuk mengejar absensi di malam hari, dan juga aku harus mengambil jarak terlebih dahulu. Jika semua ilusi itu berawal dari sebuah pelarian maka akan kuakhiri pula dengan hal yang sama. Kadang manusia memang sangat lucu, kita seringkali berlari dari satu hal yang menyebalkan untuk kemudian bertemu dengan hal menyebalkan lainnya. Sambil berpikir begitu aku menarik napas panjang, mungkin ini adalah saat yang tepat untuk menertawakan diri sendiri.
Meski demikian tidak ada yang perlu disesali. Mengenal manusia sehangat Miko adalah sebuah anugerah yang patut disukuri. Tidak pernah ada yang buruk dari semua itu. Yang bermasalah hanya diriku sendiri, yang terlalu mudah terbang melayang dan enggan menapak bumi. Yang membiarkan diri terjebak dalam ilusi. Yang tidak mengantisipasi diri dan terlalu berani. Ah sudahlah, anggap saja itu semua adalah risiko yang harus kuterima sebab terlalu mudah dimabuk cinta. Tetapi kalau boleh jujur, semakin ke sini aku merasa semakin bodoh, sebenarnya tidak ada hal buruk yang terjadi antara aku dan Miko, hubungan kami baik-baik saja dan juga aku tidak pernah tahu dengan pasti sedekat apa ia dengan perempuan luar biasa itu. Lalu kenapa aku harus melarikan diri ? Kenapa aku begitu senang mengambil kesimpulan sendiri ? Kenapa aku seperti ini ? Tiba-tiba saja aku merasa hampa dan putus asa.
Sungguh, jatuh cinta itu sangat merepotkan. Ia tidak hanya membuatmu buta akan hal-hal penting di sekitar tetapi juga menggerus akal sehatmu pelan-pelan. Ia tidak peduli kau sudah melahap sekian banyak buku filsafat atau seberapa sering kau mengkritik teman-teman mudamu yang menjadi budak asmara. Nyatanya, kau juga sama, menjadi budak dari sebuah otoritas paling menyebalkan bernama rasa. Kalau sudah begitu, apa kau masih bisa menyangkal ? Apa kau masih ingin terus berlari ? Jatuh cinta adalah sebuah kewajaran yang harus kau terima sepenuh hati sebab itu adalah bagian paling jujur dari sifat alamiah manusia.
Meski pada kenyataannya, setelah jatuh cinta yang begitu hebat itu aku kembali menjadi seorang Anin yang frustasi dan kehilangan kepercayaan akan masa depan dunia. Jika berada di sekitar Miko membuatku percaya pada banyak kebaikan dan mimpi-mimpi baru bertumbuhan maka kini aku melihat dunia tak lebih dari segudang sampah berserakan yang patut untuk dibersihkan. Tidak ada hal yang menarik perhatianku sama sekali.
Dalam perasaan yang nyaris hambar karena terlalu kecewa dengan diri sendiri, kulihat senior perempuan berwajah jutek yang menghukumku pada hari pertama PMB tengah mengejar-ngejar dosen dan berlalu lalang di depanku. Dengan kedua tangan yang penuh oleh kantong belanjaan yang entah apa isinya, ia merayu dosen untuk perbaikan nilai. Ternyata memang tidak banyak yang berubah, senior-senior adikuasa itu tetap saja berlagak superior di depan mahasiswa baru tetapi merunduk dan mengemis di depan dosen. Apa yang bisa diharapkan dari generasi muda yang bermental pengecut seperti itu ?
Semester pertama sebentar lagi berlalu dan semester selanjutnya akan tiba tak kalah cepat. Tahun depan mahasiwa-mahasiswa baru kembali berdatangan. Pola-pola lama akan kembali berulang. Hal-hal buruk terus diwariskan, yang berbeda hanya pelaku dan yang dikenai perlakuan itu. Selebihnya sama saja, mental-mental kolonial masih terus dilanggengkan diam-diam. Tidakkah mereka bosan dan menginginkan perubahan ?
Rupanya berada di lorong kampus ini seharian tidak akan pernah menyembuhkan patah hatiku justru membuatnya semakin parah.
Dalam keputusasaan yang berjangkit, mataku yang sejak tadi datar mengamati sekitar beralih fokus pada dua orang sosok di depanku. Mereka tersenyum dan mengajakku berinteraksi. Tiba-tiba saja aku merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah melarikan diri. Kedua orang itu menarik tanganku tanpa permisi. Aku diseret menuju kantin samping musholla itu.
“Kamu ke mana aja sih, kita mau bikin acara di Ruang Belajar,” dengan senyum yang begitu tulus Vine berkata demikian. Aku ingin terharu tapi rupanya ada hal lain yang lebih mengganggu.
“Dua minggu terakhir aku bertanya-tanya, kamu kemana,” celaka, hatiku kembali tersentuh oleh perasaan yang sebenarnya masih utuh.
Mereka memperlakukanku seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Sungguh, dua minggu yang terlalu drama bagiku kini berakhir sia-sia.
Akankah ini hanya pelarian tanpa ujung ?







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena