OSPEK ITU HANYA OMONG KOSONG (2)
Ku
pikir setelah ajang PMB (Pembodohan Mahasiswa Baru) itu berakhir, hidupku akan
lebih tenang. Aku bisa pergi ke kampus dengan normal dan belajar layaknya
mahasiswa-mahasiwa lain di luar sana. Tetapi lagi-lagi semua prasangka baikku
itu salah. Setelah tidak mengikuti PMB selama dua hari berikutnya, aku
menghadapi teror dalam bentuk lain dari para senior. Mereka mencariku ke
mana-mana, aku dibuat seperti seorang buron. Akhirnya karena sudah lelah terus
bergerilya dalam pencarian (DAMN kalimat ini membuatku merasa hidup di masa
perburuan) aku menyerahkan diri. Aku tidak boleh lari dari masalah, lebih-lebih
aku tidak ingin dianggap pengecut oleh barisan senior itu.
Senin
itu langit kotaku sedang kelabu, hujan enggan berhenti mengguyur kota kami yang
kepanasan. Kuberanikan diri untuk menghampiri barisan senior itu di markas
mereka (baca; kantin belakang), karena hari ini hujan, mungkin saja mereka bisa
lebih kalem dan tenang. Belum sampai aku pada muka kantin yang ramai dan
terlihat sesak itu, seluruh mata sudah tertuju padaku, kabarnya memang kantin
yang terletak paling pojok itu cukup sakral bagi mahasiswa baru, sebab seluruh
senior bersarang di situ. Wajar jika semua orang yang ada di kantin itu
memandangku dari kejauhan, terlebih aku mengenakan seragam maba (setelan
putih-putih, jas almamater). Mereka pasti mengira aku mahasiswa paling gila
karena berani menghampiri markas mereka, sebab biasanya junior yang sampai ke
tempat ini pasti karena terjebak atau tidak sengaja lewat, lalu ditahan.
Padahal untuk sampai ke level keberanian yang luar biasa ini aku sudah
berkelahi dengan diriku ratusan kali. Aku penakut, sangat penakut tetapi lebih
tidak tahan jika terus mendapat tekanan. Aku ingin hidup tenang dan menjalani
rutinitas di kampus dengan normal, itulah alasan terbesarku melangkahkan kaki
ke neraka jahanam ini.
Barisan
senior itu sepertinya memang sudah menunggu kedatanganku. Saat aku benar-benar
tiba di kantin, senior perempuan berwajah jutek yang menghukumku di hari pertama
langsung memanggilku untuk menghampirinya. Ia duduk di kursi panjang bersama
beberapa senior lainnya. Aku berjalan perlahan dengan lutut bergegar yang
tersembunyi di balik rok panjangku. Sebisa mungkin kucoba untuk menepis
ketakutan yang mulai berlipat ganda ini, aku tidak boleh terlihat lemah di
depan mereka.
“Woi
dek, sini kau,” katanya dengan raut wajah yang masih sama. Belakangan aku tahu
kalau senior berwajah jutek itu bernama Karin.
“Ini
satu lagi bang,” ucap Karin pada lelaki gondrong di sebelahnya.
Aku
duduk dan curi pandang ke sekeliling untuk membaca situasi sekaligus mengira
apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Saat ini kami berada pada salah satu
meja di tengah-tengah kantin yang sesak. Ada beberapa mahasiswa baru lainnya di
sini. Mungkin ada sekitar 10 orang yang tersebar pada beberapa meja bersama
senior. Dari semua mahasiswa baru yang ada di kantin ini aku hanya melihat dua
orang perempuan, ditambahku menjadi tiga. Kami pasti mahasiswa-mahasiswa yang dianggap
bermasalah oleh para senior itu. Bahkan di dalam situasi yang menjengkelkan
seperti ini representasi perempuan masih saja kalah dibanding laki-laki.
Aku
mengalihkan perhatian pada beberapa senior yang berada satu meja denganku.
Selain Karin, ada empat senior laki-laki di sini. Dua di antaranya berambut
gondrong, satu berbadan kekar dan botak, yang satunya lagi berpenampilan
biasa-biasa saja. Satu di antara mereka adalah senior yang kujumpai pertama
kali di kampus ini, yang menyambutku di depan gerbang dan mengawasi kami jalan
jongkok. Dia masih terlihat sama seperti hari pertama PMB; kusut, bermata merah
dan mungkin belum mandi. Namanya Doni, dia mahasiswa angkatan 2013 satu
angkatan dengan kakakku yang saat ini tengah sibuk mengurus skripsinya. Disaat
teman-teman satu angkatannya sibuk mengurusi masa depan, dia masih saja sibuk
menertawai anak orang, mengurus tingkah laku anak orang, merasa penting untuk
terlibat dalam proses baik buruk sikap seseorang. Sejak kapan orang-orang
pongah ini bertanggungjawab dan merasa berkewajiban untuk mengurusi hidup kami
?
“Dek, nama siapa ?” tanya Doni seketika
menghentikan pikiranku yang mulai berkeliaran.
“Anin bang,” jawabku pelan.
“Kenapa
kemarin ndak selesai ospeknya ?” lanjutnya sembari mengembuskan asap rokok
elektroniknya yang seketika mengaburkan pandanganku.
“Sakit
bang,” jawabku sambil terbatuk kecil, aroma permen karet bercampur strowberry dari
asap rokoknya membuatku mual.
“Sakit
apa? Kenapa gak kirim pemberitahuan ke kakak abang di sini ?” lelaki botak di
samping kiri Karin melanjutkan.
“Gak
ada yang urus bang,” jawabku semaunya.
“Lain
kali kasi tau supaya abang dan kakak nya gak nyariin,”
“Aku
apresiasi keberanian kau sampai ke tempat ini,” Doni kembali bersuara dan mulai
mencari mataku yang tertunduk. Aku menangkap pencarian itu, memberanikan diri
melakukan hal serupa – menatap mata merahnya.
“Dengar
ya dek hari senin dan kamis sehabis mata kuliah jangan langsung pulang. Kita masih
ada ospek lanjutan,” giliran lelaki botak yang ambil alih. Ia berbicara lebih
cepat dan kasar berbeda dengan Doni yang hemat kata dan berbicara dengan penuh
pertimbangan itu.
“Kalian
harus belajar berorganisasi, jangan jadi mahasiswa kupu-kupu,”
“Tau
ndak kau mahasiswa kupu-kupu ?”
Aku
menggeleng.
“Woi
kribo, kasi tau dia apa tu mahasiswa kupu-kupu,” lelaki botak itu berteriak
memanggil seorang mahasiswa yang berada di pojokan. Ia dihukum dan selanjutnya
dijadikan bahan risakan oleh para senior karena tidak mencukur habis rambutnya
saat PMB. Rambut orang itu keriting dan mengembang oleh sebab itulah ia
kemudian dipanggil kribo. Selain suasana mencekam dan penuh tekanan, hal yang
paling kubenci dari ajang PMB tentu adalah perisakan. Kami sering dijadikan
bahan risak oleh para senior dengan memberi kami gelar sesuka hati mereka untuk
kemudian dijadikan mereka bahan tertawaan.
“Kuliah
pulang, kuliah pulang bang,” jawab mahasiswa malang itu yang kini sudah duduk
di lantai, di bawah para senior berkuasa itu.
“Apa
woi ndak dengar,” teriak senior lainnya
“Lebih
keras,” teriak yang lainnya bersahutan.
“Kuliah
pulang-kuliah pulang bang,”
“Ndak
dengar woi,” teriak senior lain sembari memukul meja
“Kuliah
pulang, kuliah pulang bang,” akhirnya ia menjawab dengan ikut berteriak.
“Tuh
jangan jadi mahasiswa kupu-kupu,” tiba-tiba saja lelaki botak itu berteriak di
depanku. Aku terkejut karena tidak menyangka ia akan begitu kasar kepadaku.
Mataku mulai memerah menahan emosi, aku memang tidak pernah tahan dengan
bentakan juga kekerasan dalam bentuk apapun.
Di
sudut sebelah kanan seorang perempuan mulai menangis, rupanya ia terlalu kesal
karena diberi gelar “duo srigala” bersama satu perempuan lainnya dan dimintai
meniru goyangan mereka. Kedua perempuan itu memang mempunyai tampilan fisik
yang menarik dan sexy. Semua
perempuan yang ada di sini akan sangat paham kalau apa yang dilakukan oleh para
senior laki-laki itu adalah sebuah pelecehan. Tetapi lagi-lagi tidak ada senior
perempuan yang mau bersuara. Mereka justru ikut tertawa, tidak ada satu
kesalahanpun yang terlihat oleh mata mereka.
Menyaksikan
perempuan itu menangis hatiku tambah kecut. Aku membatin dalam hati, menyesali
keputusanku untuk datang ke tempat ini, mengutuk keberanian yang bodoh seperti
ini. Tindakan yang kuambil hari ini bukanlah solusi dari tekanan yang
kurasakan, justru menambahnya berkali-kali.
Pelan-pelan
aku pun terisak, dadaku sudah tak sanggup menahan sesak.
“Kau
ni ndak diapa-apakan nangis ya,” kata lelaki botak itu setengah berteriak di
depanku.
Aku
tak lagi hirau, tangisku justru semakin menjadi. Kemudian terdengar lirih tawa
para senior itu yang mungkin merasa menang telah menjatuhkan mental kami.
Pelan-pelan kuangkat wajahku yang tertunduk cukup lama. Aku harus menahan
emosiku sebentar setidaknya untuk dapat keluar dari tempat ini.
Aku
bersumpah tidak akan pernah berprasangka baik lagi pada mereka. Ospek selamanya
tetap omong kosong bagiku.
Komentar
Posting Komentar