AKU MAHASISWA KUPU-KUPU



“Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri” – Pramoedya Ananta Toer.

Dalam temaram lampu parkiran kampus yang kupandangi dari kejauhan, malam ini aku merasakan kebebasan yang disebut-sebut oleh kakek Pram itu. Kebebasan yang kurebut sendiri dengan pilihan yang kubuat. Aku tidak ingin mengatakan kalau ini adalah masa terbaik dalam hidupku, tentu saja tidak, tentu saja apa yang kualami saat ini masih jauh dari definisi itu. Aku hanya berusaha untuk memaknai segala hal dan sedikit merayakan kemenangan sikap – sikap yang kupilih atas momok yang terus menggangguku belakangan ini.

Setelah berhasil lolos dari neraka jahanam itu, aku bersumpah untuk tidak mengikuti ospek lanjutan dan memperpanjang urusan dengan para senior itu. Setiap hari Senin dan Kamis aku pulang lebih awal dan bolos kelas terakhir. Kabar baiknya, sistem di kampus kami membebaskan mahasiswa reguler untuk masuk pada kelas non reguler  di malam hari asal dosen pengajarnya sama. Kabar baik yang lain lagi adalah ternyata banyak mahasiswa yang melakukan hal serupa denganku. Tentu aku tidak takut atau menghindar, aku hanya tidak ingin menghabiskan energiku untuk hal-hal yang tidak mempunyai manfaat.

Tetapi bukan berarti hidupku betulan bebas dari hantu bernama senior itu. Di kampus, para oknum senior itu mulai menyebutku “mahasiswa kupu-kupu”. Mahasiswa yang paling tidak betah di kampus dan kerjaannya hanya kuliah pulang kuliah pulang saja. Sejujurnya aku tidak merasa terganggu dengan sebutan itu. Kampus memang miniatur negara, cerminan kehidupan masyarakat pada umumnya. Seperti kebiasaan masyarakat kita yang senang melabeli seseorang atau sekelompok orang maka bagiku itu adalah bagian dari warisan jaman zahiliyah yang masih bisa kumaklumi. Tetapi aku hanya ingin sedikit membela diri. Sebab dari semua organisasi yang ada di kampus tidak ada satupun yang menarik minatku. Semuanya membosankan dan penuh dengan retorika basi.

Bagaimana mungkin aku tertarik pada pengkaderan terselubung partai politik yang berkedok organisasi agama ? Atau organisasi pecinta alam yang terkenal keras dan sarat dengan senioritas ? Mungkin aku lebih memilih berdiskusi semalam suntuk bersama kak Fany di rumah ketimbang menghabiskan waktu untuk melakukan hal-hal yang sia-sia dan tentu saja menguras energiku. Cerita-cerita yang kak Fany sampaikan dan beberapa fenomena yang kulihat langsung sudah cukup untuk membuatku mengerti wajah kampus saat ini.

“Sulit menemukan gerakan mahasiswa yang masih murni dan idealis,” begitu kata kak Fany suatu ketika saat kami berbincang soal dunia kampus.
Lagian apa ada yang salah dengan menjadi mahasiswa kupu-kupu ? Kupikir jika tidak ada satupun pilihan yang tersedia dan sesuai dengan keinginanku maka sah-sah saja kalau aku memilih untuk tidak terlibat dalam satupun kegiatan kampus.

“Bagaimanapun juga, kau butuh untuk membangun relasi. Dan itulah fungsi utama organisasi,” kata Doni beberapa waktu lalu ketika ia duduk di sebelahku saat mengulang mata kuliah. Ya mungkin pernyataan itu ada benarnya, tapi membangun relasi tak harus lewat organisasi. Dan kurasa pernyataan itu sebuah anggapan yang terlalu sempit, membangun hubungan dengan orang lain itu penting, terlepas dari embel-embel apa yang kita bawa di belakangnya. Tentu saja aku bukan orang phobia pada organisasi. Hanya saja saat ini itulah pilihanku dan aku merasa bangga dengan diriku sendiri. Merasa bebas karena sudah menentukan bagaimana harus melangkah dengan alasan yang kuat. Aku tidak masalah disebut mahasiswa kupu-kupu. Aku menikmati ini semua dengan segala risiko yang mengikuti di belakangnya.

Dan di sinilah aku sekarang, duduk di kursi tunggu beranda kampus dengan buku Anak-anak Revolusi di pangkuan, tidak fokus membaca dan terjebak dalam distraksi yang kuciptakan sendiri di dalam kepala. Mungkin karena terlalu lelah menunggu dosen yang tak kunjung datang – salah satu risiko yang harus kutanggung sebab pilihan yang kubuat. Aku tak masalah, setidaknya menunggu dosen yang malas mengajar jauh lebih baik ketimbang hidup penuh dengan bayang-bayang penindasan dan tekanan. Aku putuskan untuk mengambil pembatas buku dari halaman muka dan meletakkannya pada halaman terakhir yang kubaca. Aku ingin menjinakkan isi kepala yang sejak tadi menari-nari. Kupejamkan mata sembari menyumpal telingaku dengan lagu apa saja. Aku mencoba tenang.

Tetapi, belum habis satu lagu kudengar, seseorang menepuk bahu kiriku. Menggangguku yang baru saja akan tenggelam dalam hening sekeliling. Aku bereaksi dengan tatapan terkejut.
Seorang lelaki berkacamata tersenyum padaku. Ia menunjuk buku yang kubaca dan mengajak berkenalan...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena