OSPEK ITU HANYA OMONG KOSONG




Jika keluar dari zona nyaman yang dimaksud Ari Lesmana adalah hari-hari penuh pembodohan seperti ini, sungguh aku tidak akan percaya padanya.

Setelah bangun terlalu pagi, kepercayaan diriku sedikit meningkat; karena berangkat lebih awal maka kemungkinan mendapat hukuman lebih kecil. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, seawal apapun datang ke kampus tidak akan pernah menghindarkan kami dari hukuman. Sebab jam lima waktu kampus berarti jam berapapun kami datang ke kampus, kami akan tetap dihukum. Waktu dan keterangan yang menyertai sungguh hanya sebuah ilusi.

Kami harus jalan jongkok dari depan gerbang Universitas sampai ke muka kampus yang berjarak sekitar 500 meter. Kami dibuat berkelompok, ada satu senior laki-laki yang mengawasi kami – takut kalau kami tiba-tiba berjalan tegak. Senior itu pasti belum mandi pagi mungkin juga belum tidur. Wajahnya kucel, matanya merah, aroma tubuhnya tidak sedap, aku mencium bau alkohol di sela-sela ucapannya yang hemat tetapi bernada memerintah.

“Cepat dek...”

Akhirnya setelah berjalan dengan cukup menyiksa selama kurang lebih 15 menit, kami dikumpulkan di halaman depan kampus yang luas. Belum sampai separuh mahasiswa baru yang datang, kami diminta untuk menunggu teman-teman yang lain sembari diperiksa satu persatu oleh senior perempuan. Adakah yang memakai riasan wajah ? Atau memakai kutek ? Lupa memotong kuku ? Atau terlanjur mengecat rambut ? Sedangkan laki-laki akan diperiksa rambutnya. Adakah yang potongannya tidak sesuai kriteria ? Atau menjarah tubuhnya dengan tato ?

Selama PMB kami tidak boleh cantik dan gagah, yang boleh cantik dan gagah itu hanya senior. Sejak awal kami masuk di ruang yang katanya ilmiah ini, kami sudah dipaksa memahami bahwa penampilan mungkin akan mempengaruhi proses belajarmu - cerita kak Fany soal larangan mahasiswa berambut gondrong kini bisa ku buktikan sendiri. Aku masih saja sibuk dengan konflik di dalam kepalaku saat senior perempuan berwajah jutek itu mengecek penampilanku. Hari ini Ia tidak menemukan alasan untuk bisa mengomeli atau menghukumku sebab aku adalah orang yang malas dandan, jarang berkuku panjang dan rambut hitamku sangat sehat dan sayang jika diwarnai. Tetapi dalam hati kecilku aku mengumpat. “Seandainya kau tahu kecantikan sejati itu ada di dalam hatimu, mungkin kau tidak akan repot-repot mengorbankan tidur malammu hanya demi mengecek penampilan orang lain,” tanpa terasa pikiran itu membuatku tertawa kecil yang celakanya didengar oleh senior berwajah jutek tadi.

“Apa yang kau tertawakan ?” Ia yang sudah beranjak memeriksa seseorang di sebelahku, kini berbalik menujuku.

“Ada yang lucu kah hah ?” wajahnya yang jutek itu semakin tidak bersahabat. Matanya besar dan tajam, ia pasti akan terpilih sebagai pemeran utama jika ikut casting pemeran antagonis.

“Gak kak, saya hanya ingat film yang semalam saya tonton,” jawabku dengan santai.

“Seriii (push up) lima kali,” bentaknya.

“Tapi kak, saya kan gak salah,” aku mencoba membela diri.

“Tambah lima kali,” perintahnya dengan suara yang lebih keras dan sontak membuat seluruh mata tertuju padaku.

Akhirnya, dengan sangat tidak ikhlas aku turun juga. Aku merasa sangat bodoh karena tidak bisa melawan dan hanya menuruti perintah senior berwajah jutek itu, aku kalah. Menguap sudah rasanya pengetahuan yang ku dapat dari buku-buku yang ku baca.

Sambil melaksanakan hukuman yang tidak masuk akal itu, aku mengutuk-ngutuk Ari Lesmana - Aku tidak ingin keluar dari zona nyaman.

*

 “brruakkkk,”pintu utama ruangan tempat kami dikumpulkan ditendang dari luar. Sontak kami yang sedang hening seusai makan siang terperanjat. Dari balik pintu yang dibuka dengan kekerasan tadi, muncul satu, dua, tiga orang senior berambut gondrong berjalan dengan pongahnya ke tengah ruangan. Tampilan mereka tidak jauh berbeda dengan kebanyakan senior yang ada di sini, hanya saja ke tiganya tampak lebih kusut. Salah satu dari mereka berkacak pinggang di depan kami, matanya menyapu seluruh ruangan. Dengan tatapan yang menantang ia perintahkan kami semua untuk seri.

“Ambi poisisi,” perintahnya dengan suara menggelegar.

Sekitar 400 mahasiswa yang malang dan bodoh pada hari itu reflek bereaksi. Perintah untuk ambil posisi seri tidak hanya keluar dari mulutnya, tapi dari beberapa senior lain yang sukses membuat suasana hening tadi menjadi semacam teror yang mencekam.

Aku merasa sangat tertekan, aku tidak terbiasa dengan kekerasan. Sungguh aku ingin berteriak, tubuhku bergetar menahan beragam emosi. Jika sejak tadi aku terus berusaha untuk tidak berpikir kalau pagi hari yang rusak akan merusak seluruh hari, sore ini sungguh aku tidak sanggup berlaku adil, bahkan hanya di dalam pikiran. Aku merasa malu dengan buku Bumi Manusia yang kubaca. Sudah dapat kupastikan kalau hari ini adalah hari terburukku selama berada di bangku sekolah. Drama-drama penyambutan mahasiswa baru yang dibuat oleh senior ini membuatku ingin marah dan menangis pada waktu yang bersamaan.

Tiba-tiba aku tumbang dan menangis, mungkin sudah tidak sanggup menahan tekanan batin yang sejak tadi pagi kuterima. Dengan sigap senior-senior itu memapahku keluar dari ruangan, meski masih sanggup berjalan sendiri aku tetap dibantu oleh seorang senior laki-laki menuju ke ruang kesehatan. Walau sudah cukup lega aku masih belum bisa menghentikan tangisku. Hingga sampai ke ruang kesehatan barulah aku sedikit tenang. Senior yang membantuku berjalan tadi menyodorkan air hangat padaku yang setengah berbaring di kasur.

“Lain kali kalau sakit itu bilang, dek” katanya sambil melipat lengan kemejanya. Ia tersenyum padaku, mungkin berusaha membuatku lebih tenang. Aku membalasnya dengan anggukan yang lemah.

“Kamu istirahat dulu di sini, gak usah ikut kegiatan sisanya. Abang jaga di luar ya, kalau ada apa-apa panggil saja” katanya sembari pergi dan menunjukkan letak barang-barang yang mungkin ku butuhkan.

Setelah senior itu pergi, aku hanya mengambil minyak angin dari kotak obat yang tadi ia tunjukkan dan mengoleskannya ke kepala. Ada dua orang mahasiswa lain yang sedang tertidur pulas di ruangan ini. Mereka sudah masuk ruang kesehatan sejak tadi pagi. Aku ingin ikut tertidur tetapi tidak bisa. Ada banyak sampah di dalam kepalaku yang harus segera ku keluarkan.

Akhirnya dengan aroma minyak angin yang bercampur pengharum ruangan, aku berbaring setengah duduk di kasur sederhana ini dan mulai merenung, mengingat-ingat aktivitas yang kami lakukan hari ini. Mencoba menyusun banyak hal yang sejak tadi berkecamuk di dalam kepalaku. Kenapa aku di sini ? Kenapa aku harus repot-repot mengikuti permainan yang dibuat oleh para senior itu ? Atas alasan apa mereka berhak membentak-bentak kami ? Menyuruh kami seri dan mengikuti semua keegoisan mereka ? Apa yang salah dari kami ? Apa hanya karena mereka masuk lebih awal ke tempat ini dan kami belakangan masuk, lantas mereka berhak menginjak-injak harga diri kami sebagai seorang manusia ? Tidak ada pembelajaran sama sekali yang bisa kupetik hari ini. Bagaimana bisa mengajarkan solidaritas antar sesama dengan cara mengemut satu permen secara bergantian ? Akal sehat mereka mungkin sudah dibuang ke selokan. Jika memang itu dilakukan untuk menghormati yang lebih tua, sebegitu pentingnya kah sebuah pernghormatan bagi mereka ? Tiba-tiba aku merasa begitu rendah sebagai seorang mahasiswa. Hilang sudah kebangganku karena berhasil masuk ke Universitas ternama di kotaku ini. Hancur sudah bayanganku soal para terpelajar yang akan mengkaji berbagai permasalahan di negeri ini dengan argumen ilmiahnya. Mereka yang ku kira luar biasa itu ternyata masih juga mewarisi mental penjajah, senang menindas dan gila hormat. Aku sungguh membenci hari ini. Ospek bagiku tak lebih dari omong kosong yang dibangga-banggakan...
Hilang sudah kebangganku karena berhasil masuk ke Universitas ternama di kotaku ini. Hancur sudah bayanganku soal para terpelajar yang akan mengkaji berbagai permasalahan di negeri ini dengan argumen ilmiahnya. Mereka yang ku kira luar biasa itu ternyata masih juga mewarisi mental penjajah, senang menindas dan gila hormat. Aku sungguh membenci hari ini. Ospek bagiku tak lebih dari omong kosong yang dibangga-banggakan...

Tiba-tiba kegaduhan terdengar begitu jelas di luar ruangan, menghentikan semua kontemplasiku sore ini. Tak lama kemudian beberapa orang senior memapah dua orang mahasiswa yang sepertinya tak sadarkan diri. Itulah jawaban dari kegaduhan yang menggangguku tadi. Aku tidak yakin keduanya akan baik-baik saja, entah hal apa yang sudah menimpa keduanya di luar sana. Semakin lama aku berada di ruang kesehatan ini, semakin yakin aku dengan semua asumsiku.

Besok aku tidak akan beranjak dari zona nyamanku...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena