AKU INGIN PERCAYA PADA ARI LESMANA



Sayup-sayup terdengar suara khas Ari Lesmana berseloroh “keluarlah dari zona nyaman” lagu yang menjadi populer setahun belakangan ini. Aku sungguh yakin jika suara merdu itu berasal dari perangkat suara yang berada di sekitarku. Seingatku saat ini aku sedang berada di sebuah warung kopi yang sepi dan suram. Sengaja ku cari tempat yang seperti itu agar leluasa membaca buku tanpa diganggu oleh gosip-gosip murahan meja sebelah atau kumpulan orang yang tiba-tiba berteriak “anjing” karena kelewat geram saat bermain game online.

Tetapi... tunggu sebentar, kenapa suara itu semakin keras dan terasa dekat ? Dan semakin ke sini justru terengar seperti kaset rusak. Kenapa Ari Lesmana hanya mengulangi kalimat itu-itu saja ? “keluarlah dari zona nyaman”, “keluarlah dari zona nyaman”. Dengan terpaksa ku alihkan perhatianku dari buku Bumi Manusia yang sedang ku baca. Melihat sekeliling, membaca situasi. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat Ari Lesmana tiba-tiba sudah duduk di meja sebelahku. Dia mengenakan setelan yang biasa ia gunakan ketika manggung. Penampakan Ari Lesmana hari ini sama dengan yang biasa ku lihat di video-video youtube. Ia tersenyum padaku sebentar, lalu tiba-tiba ia merapalkan kalimat yang sama – “keluarlah dari zona nyaman.” Berkali-kali dan terus berulang sampai-sampai membuatku risih dan mengurungkan niatku untuk mengajaknya berfoto.

Lalu kepalaku tiba-tiba sesak penuh oleh kata-kata ajaib itu. Aku tak bisa lagi mengontrol apa yang terjadi padaku berikutnya. Aku merasa tumbang. Dunia tempat keberadaan Ari Lesmana tadi seolah berbeda dari yang ku jejaki sekarang. Pelan-pelan aku merambat kenyataan...
“Sial,” bisikku pelan lantas kemudian menarik napas dengan cukup panjang. Dengan susah payah aku bangkit dari pembaringanku, menyusun perlahan rentetan kejadian semalam. Rupanya aku ketiduran setelah lelah mempersiapkan perlengkapan PMB (ospek) dan memaksakan diri untuk membaca Bumi Manusia. Lalu aku lupa mematikan lagu yang ku dengar semalam. Tetapi, bagaimana bisa aku terbangun oleh lagu setenang ini ? Dan kenapa pagi ini terasa begitu tenang ? Kenapa musholla di depan gang tidak beraktivitas seperti biasanya ? Jangan-jangan aku kesiangan ?

Ku lirik jam di smartphone, waktu menunjukkan pukul 04.45, aku terperanjat, itu artinya aku hanya punya waktu 15 menit untuk bersiap menuju kampus. Aku bergegas menuju kamar mandi, tak ku hiraukan lagi baterai smarthphone ku yang sudah kosong sebab semalaman menyetel lagu, aku sudah terburu-buru, pagi nikmatku pasti sudah berlalu.

Sungguh, hari-hari santaiku telah lewat. Tidak ada lagi pagi pelan dan damai yang biasanya selalu kumulai dengan menikmati secangkir teh di kebun belakang sembari membaca buku atau berlama-lama mengurusi hewan peliharaanku. Pagiku sudah berganti perasaan cemas yang kemudian ikut serta membebani setiap langkahku.

Untuk pertama kalinya dalam17 tahun hidupku, aku harus mandi sepagi dan sedingin ini. Benar-benar menyiksa. Ini juga mandi pertamaku tanpa diiringi musik, semenjak kak Fany mengenalkanku dengan musik-musik indie dan merasukiku dengan segala macam kebiasaannya maka akupun ikut keracunan. Tidak ada hari yang dilewati tanpa musik.  Dan tentu saja semenjak aku menikmati kehidupan sebagai pengangguran produktif setelah lulus SMA maka semua ilmu kak Fany yang didapat dari aktivitas dan pergaulan di kampus berhasil ku terima dengan baik. Maka pagi ini setelah mandi dengan hampa aku juga bersiap dengan tergesa. Bayang-bayang penyiksaan telah memenuhi kepalaku.

Aku mengutuk diriku yang bangun terlalu pagi karena harus bersiap untuk hadir sebelum “jam 5 waktu kampus”. PMB hari pertama telah menghisap seluruh energiku sejak seminggu yang lalu. Tentu saja begitu, sebab kami harus mempersiapkan pernak-pernik kehidupan yang akan kami bawa selama masa orientasi. Tas dari karung, name tag dengan bentuk sapi sesuai kelompok masing-masing, setelan putih-putih serta berbagai bekal makanan dengan clue-clue yang tidak masuk akal. Oh ya jangan lupa rambut dengan ikat pita berjumlah 17 – karena kami angkatan 2017, kaus kaki berwarna merah karena katanya kampusku itu kampus merah. Begitulah,cukup menyebalkan bukan ? Kini kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan, apa relevansinya hal-hal seperti ini dengan keberadaan kami di kampus nanti ? Apa hubungannya ikat pita 17 dengan mata kuliah yang akan kami pelajari nanti ? Ku tepis pikiran-pikiran liar yang terus menggurita di dalam kepalaku. Ku bangunkan kak Fany yang sedang tertidur pulas untuk mengantarku ke kampus, karena tentu saja mahasiswa baru tidak boleh membawa kendaraan pribadi.

Kini kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan, apa relevansinya hal-hal seperti ini dengan keberadaan kami di kampus nanti ? Apa hubungannya ikat pita 17 dengan mata kuliah yang akan kami pelajari nanti ?

Aku sudah sangat panik karena jam di smarthphone ku sudah lewat pukul lima.
“Kak, antar aku. Aku sudah telat nih,” kataku sambil mengguncang-guncangkan tubuh kak Fany.
Tetapi ia hanya menggelayut manja, menarik kembali selimutnya dan berbicara dengan mata yang belum terbuka.
“Hoam... ini baru jam berapa sih ? Orang belum adzan subuh kali,” kak Fany kembali tidak bergerak.
“Ini udah lewat jam lima kak, adzan subuh sudah lewat dari tadi,” jawabku panik, ku rasakan tubuhku berkeringat sebab sejak tadi kejar-kejaran dengan waktu.
Kak Fany malah memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam selimut, mengabaikan kepanikanku. Aku sungguh kesal dan ingin mengguyurnya dengan air keran, kak Fany sungguh tidak peduli jika aku harus mengalami hari yang sulit karena telat datang di hari pertama PMB. Tapi, tak lama kemudian, sayup-sayup terdengar adzan subuh dari musholla yang berada di depan gang. Pelan-pelan tingkah menyebalkan kak Fany terasa masuk akal, ku lirik jam dinding di kamar kak Fany, waktu menunjukkan pukul 04.15.

Aku terduduk lemas dengan pikiran-pikiran jahat yang sudah menumpuk di kepala. Sebelum sampai ke kampus hari ini, aku sudah lebih dulu dikerjai. Aku sangat kesal karena lupa menyetel ulang waktu di smarthphone ku. Tiba-tiba aku merasa terseret kembali dalam dunia tempat keberadaan Ari Lesmana, ia kembali merapalkan mantra yang sama “keluarlah dari zona nyaman,”

Sungguh aku ingin percaya pada Ari Lesmana.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena