Perempuan dan Politik ; Kolaborasi Menulis Restiana Purwaningrum x Sekar Aprilia Maharani



Kali ini saya menjawab tantangan kolaborasi menulis dari Sekar, seorang anak manis yang sangat aktif menulis. Saya senang dan mengagumi semangat Sekar dalam menulis. Sekar aktif menulis di blog pribadinya dan sudah menerbitkan satu buah buku kumpulan cerita bersama teman-temannya. Kali ini, kami berdua akan menyatakan pendapat kami tentang perempuan dan politik. Sekar akan mengulik persoalan keterlibatan perempuan di ranah politik sementara saya lebih mempertanyakan efektifitas ketika perempuab telah berada pada ranah tersebut. Dua buah tulisan yang menurut saya akan saling melengkapi. Semoga tulisan ini bisa memperkaya perspektif kita tentang perempuan dan politik. Selamat membaca :))


Perempuan dan Politik : 30% Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Efektifkah ?
Oleh : Restiana Purwaningrum

Perempuan pada ranah publik
Dalam beberapa kali diskusi mengenai perempuan yang saya ikuti (baik diskusi warung kopi maupun diskusi formal) seringkali pembahasan mengenai persoalan perempuan ditanggapi secara umum. Dalam artian, kita masih memandang semua permasalahan perempuan dari kaca mata universal ; secara keseluruhan. Padahal permasalahan perempuan itu sendiri sangat kompleks dan tidak terlepas dari peran apa yang diembannya di dalam masyarakat. Sejak zaman Yunani, Plato telah melakukan pembagian terhadap ruang privat dan ruang publik yang tentu saja jika kita membicarakan persoalan perempuan tidak akan pernah dapat terlepas dari kedua ruang tersebut. Permasalahan perempuan pada ruang privat tentu akan berbeda dengan apa-apa yang dihadapi perempuan pada ruang publik; meskipun ke dua ruang tersebut pada akhirnya akan saling berkaitan.

Sudah menjadi cerita klasik bahwa peran utama perempuan selalu diinternalisasi oleh masyarakat berada di wilayah privat yang berhubungan dengan soal reproduksi, serta produksi pangan bagi keluarga. Sementara ranah publik yang berhubungan dengan hal-hal seperti politik, serta hubungan antara manusia dengan manusia lain selalu diidentikkan dengan laki-laki. Padahal perempuan dan laki-laki seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk dapat menggunakan nalar dan kreatifitasnya, perempuan bukan sekadar objek pemuas kebutuhan domestik laki-laki dan oleh sebab itu keterlibatan perempuan dalam ranah publik sangatlah penting dan harus diperjuangkan. Kesadaran inilah yang kemudian menjadi akar bagi pemikiran Feminis Liberal dan pergerakan perempuan lainnya.

Di Indonesia sendiri perjuangan perempuan untuk tampil di ranah publik tentu telah sama-sama kita ketahui lewat kegelisahan yang dituliskan oleh Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang – yang kemudian secara universal diakui sebagai tonggak perjuangan kesetaraan bagi kaum perempuan di Indonesia. Sejak saat itu dapat dikatakan, perempuan semakin menyadari haknya untuk tampil di ranah publik. Meskipun tentu saja gerakan perempuan terus mengalami gelombang pasang surutnya.
Kemudian, pergeseran rezim dari Orde Baru ke reformasi telah memberikan peluang yang cukup besar bagi keterlibatan perempuan dalam ruang publik khususnya pada kehidupan politik dan pengambilan kebijakan (setelah sebelumnya Orde Baru melakukan berbagai macam stigmatisasi terhadap perempuan). Pemerintah bahkan menyebut telah memasukkan “aspek perlakuan khusus” pada perempuan melalui aturan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam parlemen dan kepengurusan partai politik. Tidak hanya pada level nasional (DPR RI) kepengurusan partai bahkan wajib menyertakan keterwakilan kepengurusan 30% perempuan pada setiap jenjang kepengurusan. Peraturan tersebut bahkan dilanjutkan hingga tahapan pencalonan. KPU kini memberikan sanksi administratif, yang di mana jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka partai politik tidak bisa mengikuti pemilu di daerah bersangkutan.
Namun, seberapa efektifkah keterwakilan perempuan di parlemen dalam menyuarakan isu-isu perempuan ?

30% keterwakilan perempuan di parlemen, efektifkah ?

Saya sangat setuju dengan pernyataan sekaligus pertanyaan yang ditulis oleh Jurnal Perempuan dalam Kata Pengantar  Jurnal Perempuan Edisi 92  tentang Perempuan dan Kebijakan Publik ; “Apakah perempuan yang berada di jabatan publik benar-benar mempromosikan kepentingan perempuan dalam pengambilan kebijakan publik ?”
Tentu jabatan publik yang di maksud di atas tidak hanya terbatas pada jabatan di bidang legislasi saja, namun khusus pada tulisan ini saya akan membatasi jabatan publik yang dimaksud adalah para wakil rakyat yang akan mengemban fungsi legislasi. Sebab tentu saja badan legislatif adalah muara dari kebijakan publik pada bidang lainnya (eksekutif dan yudikatif).
Jika melihat pada pola perekrutan partai di Indonesia barangkali kita tidak memerlukan data-data kuantitatif untuk menunjukkan efektif atau tidaknya keterwakilan perempuan di parlemen. Pemahaman dan komitmen partai politik yang masih minim terkait pentingnya keterwakilan perempuan ditunjukkan dengan tidak adanya proses pendidikan politik, kaderisasi dan rekrutmen yang serius dari partai politik untuk mendorong kuantitas dan kualitas representasi perempuan. (YJP : 92 h.115)

Oleh sebab itulah fenomena “mendadak nyaleg” menjadi suatu hal yang wajar dan ramai di masyarakat pada tahun-tahun politik seperti ini. Pertimbangan partai politik dalam mengusung bakal calon legislatif seringkali hanya didasari oleh elaktabilitas semata, tanpa adanya proses pendidikan politik serta kaderisasi yang baik sebelumya. Jika demikian bukanlah satu hal yang aneh kalau  keterwakilan perempuan seringkali hanya sekadar formalitas biasa agar partai politik tidak mendapatkan sanksi administratif dan dapat menjadi peserta pemilihan umum. Hal-hal seperti ini tentu sudah menjadi rahasia umum, yang sering kita dengar pada sudut-sudut riuh  warung kopi.

Lalu apa yang bisa kita harapkan dari proses politik yang demikian ? Tidak heran jika perempuan-perempuan yang nantinya duduk di kursi parlemen tidak menyuarakan “suara-suara perempuan” dan menggunakan perspektif gender dalam merumuskan instrumen-instrumen hukum yang menjadi dasar kebijakan publik yang tentu saja akan memiliki dampak pada perempuan itu sendiri. Jangan tanya kenapa jika korban perkosaan masih sering terjerat sanksi pidana sebab aturan yang lahir dari badan legislasi masih bersifat netral gender dan sangat tidak peka terhadap perspektif gender.
Tentu bukan maksud saya menyudutkan teman-teman saya yang saat ini memilih untuk terlibat dalam ranah politik. Justru saya sangat mendukung partisipasi tersebut, dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya. Keterlibatan perempuan dalam ranah publik tidak cukup jika perempuan itu sendiri tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan publik, mengingat setiap kebijakan publik secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada perempuan. Dengan melibatkan diri secara langsung pada pesta politik, sudah menunjukkan bahwa perempuan telah memiliki kesadaran politik. Hanya saja kesadaran tersebut harus diikuti dengan pendidikan dan pemahaman yang lebih mendalam. Alangkah lebih baiknya jika partisipasi tersebut tidak hanya ikut-ikutan belaka atau sekadar ajang mencari pengalaman semata. Perempuan yang turun ke ranah politik harus benar-benar menyadari keterlibatannya dan harus memiliki alasan yang visioner.

Dengan begitu mungkin kita boleh menaruh harapan lebih pada perempuan-perempuan yang mewakili kita di kursi parlemen itu. Para perempuan yang benar-benar tahu kenapa ia berada di sana dan sangat mengerti apa yang harus diperjuangkannya ketika duduk di sana.
Mungkin di luar sana banyak sekali orang-orang yang tidak menaruh kepercayaan pada anggota parlemen yang katanya wakil-wakil rakyat tapi nyatanya tidak pernah memperjuangkan kepentingan semua rakyat. (Rakyat yang mana ?)

Tetapi saya pribadi bukanlah orang yang pesimis, sehancur apapun harapan saya akan perubahan di negeri ini. Saya akan tetap menaruh kepercayaan kepada siapa saja yang dengan sadar berbuat, menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain; dengan cara apapun itu. Mungkin hal-hal seperti mengharapkan penindasan-penidasan terhadap perempuan dan kelompok termarginalkan itu berakhir akan terdengar sangat utopis. Keadilan hanya ada di langit dan dunia hanya kepalsuan begitu kata Soe Hok Gie. Tetapi terkadang, hal-hal yang utopis dan realistis itu bedanya hanya setipis kepedulian dan sudut pandang kita. Tidak pernah ada yang salah dengan mengharapkan sebuah perubahan (dan tentunya berbuat untuk itu).

Terakhir, pesan saya kepada semua teman saya yang akan maju pada Pemilu Legislatif tahun depan ; tak peduli apapun alasan kalian memutuskan turun pada ranah politik, saya mengapresiasi setinggi-tingginya kesadaran kalian, tetapi alangkah lebih baiknya jika niat baik dan kesadaran itu dilakukan dengan sepenuh hati, diikuti dengan tindak nyata. Mulailah mengerti permasalahan masyarakat yang akan kalian wakili suara dan kegelisahannya. Terjun langsung merasakan bagaimana rasanya menjadi masyarakat kecil yang kesehariannya masih terus disibukkan dengan urusan domestik dan tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan hal-hal penting lainnya. Ambillah kesempatan ini untuk bermanfaat kepada banyak orang (bukan segelintir orang). Dan jangan lupa, masih banyak permasalahan-permasalahan perempuan yang dianggap tidak penting, sepele, diabaikan ; yang di mana kesemuanya harus kalian perjuangkan.

Selamat berjuang, panjang umur semangat baik !

******



Perempuan dan Politik di Era Milenial
Oleh : Sekar Aprilia Maharani-

Perempuan dan politik. Menarik sekali kalau harus mengulasnya lebih jauh, membawanya ke ranah-ranah diskusi publik yang barangkali akan membawa pengaruh pro dan kontra dalam pergulatan pikiran kita. Semua adalah tentang bagaimana perspektif kita memandangnya. Tentang keseteraan gender, hak asasi manusia, atau label-label perempuan yang masih dekat dengan budaya patriarki masa lampau. Tidak pernah ada yang terukur salah dan teruji kebenarannya. Lagi-lagi, ini hanya soal ke arah mana haluan horizon membawa kita menyimpulkan sesuatu secara lebih bijak dan sehat.

Kebebasan berpendapat, berpendidikan, bekerja, bahkan berpolitik sejatinya menjadi kebebasan yang dapat dipeluk oleh siapa saja. Semua punya hak berkontribusi lewat cara apa saja. Tidak ada yang termarjinalkan dan tersisihkan dari proses demokratis di negeri yang katanya kaya akan keberagaman ini. Tidak ada panorama persatuan dan kesatuan yang dibungkus lewat jalan mendiskriminasi suatu gender.  Semua manusia dipandang sama di hadapan hukum, juga di hadapanNya. Cukup adil, bukan?
“Tapi kan aku perempuan.”
“Tapi kan dia perempuan.”

Memangnya kenapa kalau perempuan? Memangnya gender dapat membatasi karya dan potensi-potensi yang kita tumbuhkan? Memangnya edukasi yang selama belasan tahun kita enyam hanya boleh berakhir di label sarjana saja? Memangnya opini-opini dan segala kemajuan berfikir yang dimiliki perempuan, hanya boleh menguap karena kalah pamor oleh pemikiran idealis ala laki-laki? Tidak kan? Srikandi zaman now juga tidak kalah hebat kok. Begitu banyak kartini-kartini muda yang berhasil mendedikasikan kontribusinya untuk kemajuan bangsa ini. Sri Mulyani, Najwa Sihab, Dian Sastro, dan beragam bukti nyata perempuan-perempuan inspiratif yang hari ini keberadaannya cukup berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat. Dilansir dalam laman detik news,  menurut catatan PBB 2017, Indonesia punya 9 menteri perempuan dari 35 kursi di kabinet atau 25,7%. Artinya, hari ini perempuan sudah mulai diperhitungkan berdasarkan kualitasnya bukan lagi dengan latar belakang gender.

Ada yang lebih penting untuk disoroti ketimbang mempersoalkan masalah gender. Adalah kualitas, intelektualitas, prinsip, sikap, dan hal-hal lebih urgent untuk dijadikan tolak ukur kita dalam memandang kelayakan seseorang untuk berpolitik. Keterlibatan perempuan dalam politik menjadi penting ketika kita tau bahwa yang punya power untuk menyetir keadaan negara masa mendatang bukan hanya laki-laki. Kalau kata sahabatku Vivy Junita, it’s not about gender, it’s all about yourself. Ketika perempuan punya kualitas berfikir dan kualitas berpolitik yang baik, maka keterlibatannya juga punya peran yang penting dalam kancah perpolitikan di negeri ini. Kalau kata orang, perempuan itu identik dengan sikap lemah-lembutnya, but it’s not a problem, tapi peluang. Bahkan Jendral Sudirman pernah bilang bahwa, tak ada yang lebih kuat dari kelembutan dan tak ada yang lebih lembut dari kekuatan yang tenang.

Terserah hendak berakhir di mana, entah menjadi seorang Ibu Rumah Tangga, wanita karir, atau berpendidikan setinggi-tingginya, seorang perempuan harus punya kontribusi untuk dirinya sendiri dan untuk generasi. Ketika pada akhirnya seorang perempuan memilih berakhir dalam dunia politik, semoga kelak kita tidak akan pernah lupa akan tupoksi utama kita sebagai ibu, istri, anak, dan kemuliaan-kemuliaan sebagai peran perempuan lainnya. Bahwa kecerdasan intelektual, jalan edukasi, corak pemikiran,  seharusnya menjadi penyadaran kita bersama bahwa perempuan punya peran yang sama dalam kedudukan berpolitik. Kita punya kebebasan yang sama untuk menyalurkan kebermanfaatan yang kita miliki. Sekecil apapun itu. Tetapi jangan sampai, peran kita dalam politik hadir karena semata-mata ingin terlihat lebih unggul dibandingkan kaum adam. Keterlibatan kita ada bukan sebagai perlombaan untuk unggul-unggulan, bukan untuk memandang lelaki lebih rendah daripada kita, sama sekali bukan untuk itu.

Semestinya, di tengah kecukupan ini, ada banyak hak orang lain yang dapat kita perjuangkan bersamaan dengan proses menuntut ilmu. Semestinya, di tengah kemudahan berkarya ini, karya kita ada sebagai sumbangsih besar yang dapat menebar kebermanfaatan. Selagi tubuh tak terpasung, seharusnya jiwa dan pikiran dapat terbang sebebas-bebasanya. Selagi tak harus jadi Raden ayu, yang dipaksa menjadi istri kesekian tanpa diberikan kebebasa untuk memilih dan menolak, seharusnya cita-cita kita, kontribusi kita dapat lebih mudah tumbuh lewat kebebasan. Suara-suara kita ada untuk diperdengarkan, untuk tidak tinggal diam ketika ketidakadilan menjadi nyata untuk dipertontonkan, ketika kesenjangan menjadi-jadi, hingga bahkan ketika kejahatan semakin membludak dan mengkhawatirkan. Jangan sampai, generasi kita harus menanggung beban akibat ketidakberdayaan kita hari ini. Pesanku untuk seluruh perempuan Indonesia, “Lakukan apa yang bisa kita lakukan untuk kemajuan perpolitikan di negeri ini. Belajar untuk melek politik, sekalipun kita tidak ingin terjun langsung untuk masuk di dalamnya,”


Komentar

  1. Tapi, menurutku ada yang lebih penting utk ditelisik. Yaitu bagaimana membangkitkan kesadaran teman-teman perempuan bahwa kebijakan politik itu merugikan mereka 😬
    Mungkin itu PR kita bersama, atau perjuangan kita bersama. Semangat utk kita semua :)

    BalasHapus
  2. Perempuan bukan sekedar kebebasan dan kesetaraan tapi pintu utama untuk melahirkan peradaban dan perlawanan untuk roh, jatidiri, nilai dan praktek kebenaran dan keadilan nyata hidup dalam ranah sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan hak asasi manusia. PR politik perempuan dan perempuan politik kita adalah menggarami politik dengan suara hati Ibu Bumi agar tetap memberi air susu kehidupan bagi umat manusia. Semoga!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena