Melihat dan Belajar dari Kehidupan Masyarakat Tradisional Lewat Film BOTI



Mungkin akan sulit bagi kita untuk membayangkan manusia di tengah era post modern ini masih menjalani kehidupan dengan nilai-nilai tradisional. Namun percaya tidak percaya, masih banyak kelompok-kelompok tradisional di berbagai belahan dunia ini yang mampu mempertahankan kehidupan tradisional mereka.

Belum lama ini aku selesai membaca sebuah buku tentang kehidupan masyarakat tradisional dan modern, The World Until Yesterday sebagai hasil penelitian Jared Diamond pada beberapa kehidupan masayarakat tradisional di berbagai negara. Setelah membacanya aku sering bertanya-tanya tentang keberadaan serta keberlangsungan hidup masyarakat tradisional pada abad ini. Bak gayung bersambut, akhirnya aku mendapatkan sedikit gambaran visualnya lewat film “BOTI” yang dirilis oleh Watchdoc Documentary. Sebuah film yang membawa kita untuk melihat kehidupan yang berbeda dari yang selama ini kirta jalani.

Boti adalah nama sebuah daerah yang berada di pedalaman Nusa Tenggara Timur (NTT) yang masih mempertahankan kehidupan tradisional secara utuh. Tidak hanya dari cara mereka menjalani kehidupan sehari-hari (makan, tidur, dan bekerja) tetapi juga pada hal-hal yang bersifat publik seperti agama, hukum yang berlaku serta kepemimpinan.

Masyarakat Boti dipimpin oleh seorang Raja, Namah Benu. Sebagai seorang Raja tentu Namah Benu memiliki peran penting dalam berbagai pengambilan keputusan pada masyarakat Boti, seperti pengelolaan tanah, serta ijin untuk mendirikan bangunan-bangunan publik.
Jika menilik pada kehidupan masyarakat tradisional pada umumnya, maka kesan pertama yang akan kita tangkap adalah bahwa masyarakat tradisional sangat mandiri dalam segala hal, begitu juga pada masyarakat Boti. Mereka membuat pakaian sendiri, membuat minyak goreng sendiri, serta mandi dengan menggunakan pembersih yang juga didapatkan dan diolah dari alam. Masyarakat Boti bahkan sangat mandiri dalam hal pangan, jagung-jagung yang mereka tanam dengan cara tradisional tidak pernah memberikan mereka kekurangan bahan makanan. Masyarakat tardisional punya cara tersendiri untuk menghindari gagal panen atau menghadapi musim paceklik. Bahkan masyarakat Boti – yang juga adalah bagian dari Indonesia, sama sekali tidak pernah mengharapkan bahkan menolak bantuan dari pemerintah. Menurut Namah Benu jika mereka menerima bantuan dari pemerintah, ditakutkan mereka akan malas bekerja dan hanya menunggu bantuan. Oleh sebab itu, mereka harus tetap bekerja untuk tetap dapat melanjutkan kehidupan.

Dalam hal pendidikan, masyarakat Boti mempunyai kebijakan yang cukup unik. Di mana tidak semua anak di Boti diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan. Misalkan pada satu kepala keluarga dengan empat anak, maka yang boleh bersekolah hanya dua anak, sementara dua anak yang lain harus tetap menjaga adat istiadat Boti. Masyarakat Boti seakan memiliki ketakutan bahwa pendidikan akan membuat mereka lupa akan tradisi mereka. Hal ini barangkali akan terdengar begitu diskriminatif, mengingat hak untuk mengenyam pendidikan adalah milik setiap anak. Namun mendengar alasan yang diutarakan oleh Namah Benu, hal tersebut justru mencerminkan sebuah kebijaksanaan. Sebuah jalan tengah yang harus diambil ketika sendi-sendi kehidupan yang lain telah memaksa kita untuk ikut serta menyesuaikan diri. Meski memiliki kebijakan demikian, masyarakat Boti tidak pernah menolak sekolah, ataupun rumah ibadah dan fasilitas publik yang masuk ke Boti. Justru mereka bergotong royong untuk membantu pembanguan tersebut, tentu dengan jaminan bahwa adanya fasilitas publik demikian tidak akan mengancam keberadaan masyarakat tradisional Boti. Sebuah toleransi yang luar biasa di tengah perbedaan dalam cara-cara menjalani kehidupan yang cukup signifikan.

Kemudian hal lainnya yang menurutku tak kalah menarik adalah soal sistem hukum yang diterapkan oleh masyarakat Boti. Jika ada masyarakat Boti yang mencuri maka hukuman yang diberikan oleh masyarakat berupa hukuman moral, yakni dengan memberikan barang yang hendak dicuri kepada pencuri itu sendiri. Tujuannya adalah untuk memberikan efek jera. Misalkan, jika orang yang mencuri babi diberikan babi, maka ia akan berhenti mencuri babi, jika orang yang mencuri jagung diberi jagung maka ia akan berhenti mencuri jagung, dan hukuman dengan cara tersebut berhasil membuat para pencuri berhenti mencuri. Meski yang dibahas pada film dokumenter berdurasi 43 menit 34 detik tersebut hanya soal hukuman bagi pencuri, tetapi menurutku hal-hal seperti ini bisa kita jadikan sebagai bahan renungan tentang makna hukum dan tujuan dari keberadaan hukum itu sendiri.

Aku teringat pembahasan soal hukuman antara masyarakat tradisional vs modern dalam buku Jared Diamond. Hukuman dalam beberapa masyarakat tradisional bertujuan untuk “Memulihkan hubungan antara kedua belah pihak yang bersengketa” sementara yang terjadi pada sistem peradilan kita masyarakat modern bertujuan untuk “Membuktikan siapa yang benar dan salah”. Dalam beberapa hal terbukti bahwa sistem pidana pada masyarakat tradisional lebih efektif dalam mencegah munculnya tindak kejahatan susulan atau lanjutan sebab dendam atau perasaan-perasaan ganjil yang belum tuntas antara kedua belah pihak. Oleh sebab itu kini peradilan modern menyediakan penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution) berupa mediasi, konsoliasi dan lain sebagainya untuk ikut serta memberikan kepuasan batin dari kedua pihak bersengketa dalam menyelesaikan permasalahannya.

Tentu kita tidak akan bisa mengadopsi mentah-mentah cara hidup masyarakat tradisional yang menjalankan hidupnya hingga hari ini. Sebab tentu akan ada banyak hal yang harus kita sesuaikan kembali dengan kehidupan modern yang telah kita jalani. Bagiku sendiri, mengetahui kehidupan masyarakat tradisional menjadi begitu menarik dan penting sebab kita tidak akan hidup dengan begitu modernnya kini jika tidak meninggalkan cara-cara tradisional yang dijalankan oleh nenek moyang kita dahulu. Selain itu banyak hal positif yang kemudian dapat kita pelajari bahkan adopsi dalam kehidupan pribadi kita dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional.

Terakhir, apa yang ku lihat pada masyarakat Boti mengajarkanku kembali bahwa kita sungguh dapat hidup secara berdampingan sejauh apapun perbedaan kita. Di tengah berbagai macam konflik yang mengatasnamakan agama di Indonesia, masyarakat Boti yang justru tidak beragama dan menganut kepercayaan tradisional telah menampar kita berkali-kali, bahwa bertoleransi dan hidup berdampingan dengan pihak yang berbeda tidak akan menjadikan kita punah. Perbedaan seharusnya dirayakan sebagai sebuah kekayaan bukan semakin dipertajam. Bukankah Tuhan sendiri menciptakan kita berbeda justru supaya kita bisa mengetahui kebesarannya ?


Di tengah berbagai macam konflik yang mengatasnamakan agama di Indonesia, masyarakat Boti yang justru tidak beragama dan menganut kepercayaan tradisional telah menampar kita berkali-kali, bahwa bertoleransi dan hidup berdampingan dengan pihak yang berbeda tidak akan menjadikan kita punah. Perbedaan seharusnya dirayakan sebagai sebuah kekayaan bukan semakin dipertajam. Bukankah Tuhan sendiri menciptakan kita berbeda justru supaya kita bisa mengetahui kebesarannya ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena