Digital Detox : Upaya Pengendalian Diri Dari Kecanduan Sosial Media



Barangkali tidak semua orang dapat menyadari atau mau mengakui bahwa dirinya telah kecanduan sosial media. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat telah memudahkan kita dalam banyak hal, pada era digital seperti sekarang sosial media mempunyai peran yang cukup penting dalam pola komunikasi sehari-hari bahkan telah menjadi gaya hidup yang tak dapat kita hindari. Tentu saja demikian sebab sosial media dapat menjadi wadah pengaktualisasian diri, menjadi pilihan untuk berekspersi. Orang-orang yang pada dunia nyata sulit untuk mengekspresikan dirinya, terkadang menemukan tempat yang tepat untuk menunjukkan dirinya di dunia maya.

Mungkin semuanya akan terlihat sangat wajar karena kita hidup di era digital dan tidak akan pernah benar-benar bisa melepaskan diri sepenuhnya dari semua aktivitas di dunia maya. Tetapi, pernahkah kau mengingat-ingat berapa jam dalam sehari yang kau habiskan untuk berseluncur di dunia maya ? Seberapa sering kau mengecek gawaimu ? Atau seberapa besar interaksi di dunia maya mempengaruhi mood mu ?

Berbagai studi menunjukkan bahwa sosial media adalah candu. Levi Felix, co-founder Digital Detox mengatakan bahwa setiap pemberitahuan atau pesan yang masuk memicu pelepasan dopamin, sebuah neotransmitter yang berperan dalam membentuk motivasi yang diakibatkan oleh “hadiah” atau kesenangan yang didapatkan karena sesuatu. Dopamin berpengaruh terhadap perkembangan mood dan pada akhirnya memicu ketergantungan kita pada objek pemicu. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa penggunaan sosial media berpengaruh pada kondisi mental dari seseorang (seperti mempengaruhi kadar stress). Yass, secara ilmiah sosial media adalah sebuah adiksi, diakui atau tidak.
Aku sendiri punya pergulatan batin yang cukup pelik perihal sosmed. Ku akui ada perasaan bahagia ketika membagikan hal-hal yang kusenangi di sosmed, ada semacam perasaan lega dan kecenderungan untuk terus menunjukkan diri sendiri. Ketika aku sering membagikan apa yang sedang ku baca di insta-story, menunjukan lagu-lagu apa yang sedang aku dengar, atau terlalu sering mengutarakan “apa yang aku (anda) pikirkan” di sosmed. Sekali lagi, ada semacam perasaan senang dan bahagia ketika melakukan hal tersebut (efek dari pelepasan dopamin pada otak).

Lantas kemudian kita justru seringkali membagikan hal-hal yang terlalu pribadi, kecenderungan untuk menunjukkan diri pada dunia telah membuat batas antara hal yang bersifat privat dan publik menjadi semakin samar. Kita kehilangan privasi sebab kita telah membiarkan siapa saja mengetahui apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan bahkan apa yang kita rasakan. Kita menjadi terlalu mudah mengeluh dan seringkali pamer, sebab semua orang di sosial media membagikan kesenangan dan kesedihan mereka di sana. Diakui atau tidak, kita tumbuh menjadi manusia yang selalu ingin diperhatikan. Ketika kita membagikan kebahagiaan, kita ingin orang-orang tau bahwa kita bahagia. Ketika kita berduka, kita ingin orang-orang peduli dan turut prihatin. Fitur “like” dan “seen” pada berbagai sosmed adalah bukti bahwa sosial media didesain untuk memicu kita selalu ingin mendapatkan perhatian orang lain. Kita mungkin tidak benar-benar sadar bahwa ketika perasaan tersebut terus kita biarkan maka sosmed akan berpeluang besar menjadi salah satu indikator bahagia atau tidaknya kita. Dan menurutku itu adalah hal yang sangat menakutkan.

Pergulatan batin tersebut kemudian membuatku menyadari bahwa dalam segala hal kita perlu batasan. Termasuk hal-hal yang harus dibagikan atau sebaiknya tidak dibagikan sosial media, yang sialnya kesadaran tersebut malah membuatku seringkali berpikir berulang kali untuk membagikan sesuatu di sosmed and you know it’s really wasting my time :))

Kemudian sampailah aku pada kesadaran yang lain, bahwa sosial media mulai mengendalikan hidupku, mulai mendikte obsesiku, mulai mengontrol emosiku ketika itulah aku sadar bahwa aku telah kecanduan sosial media. Saat itu aku bertekad untuk memutus rantai ketergantunganku terhadap sosmed. Hal yang aku lakukan adalah dengan menantang diriku untuk tidak mengakses sosmed apapun selama beberapa hari. Pada tahun 2015 aku hanya berhasil “puasa sosmed” selama tiga hari, itupun kulakukan dengan usaha yang luar biasa.

Lalu akhir-akhir ini aku mengalami hal serupa, bahkan lebih parah lagi. Kecenderungan mengecek gawai, mengamati timeline, melihat insta-story kemudian membuatku betulan muak dengan segala yang ku lakukan. Apalagi di tahun-tahun politik seperti sekarang, dunia maya akan lebih ramai ketimbang dunia nyata. Diskusi-diskusi warung kopi berganti saling sindir di twitter, saling tebar kebencian di facebook, dan mearasa paling benar di instgaram. Tidak lupa juga broadcast message asal sebar yang menyusup dalam grup-grup whatsapp. Hal itu benar-benar membuatku lelah. Ingin rasanya aku bepergian jauh ke sebuah tempat yang tidak dapat mengakses internet. Tetapi tentu saja itu akan menghabiskan banyak energi, dan aku tidak ingin bepergian ke sebuah tempat karena “sedang berlari” dari sesuatu.

Maka Digital Detox menjadi sebuah solusi, Digital Detox adalah kegiatan menghentikan  pemakaian teknologi sejenak dan kembali ke kehidupan nyata seolah teknologi belum diciptakan (digital detox tidak hanya berlaku bagi sosial media tetapi juga teman-temannya). Aku menghapus semua sosial mediaku, aku mencoba lari dari dunia maya yang terlalu riuh. Hasilnya ? Menakjubkan, seminggu pertama aku sungguh kesulitan untuk mengendalikan diri untuk tidak membuka playstore dan mengunduh kembali semua sosial mediaku. Aku berjuang melawan rasa penasaran dan Fear Of Missing Out (FAMO) – perasaan takut kehilangan momen-momen menarik di sosial media.

Tetapi dalam masa Digital Detox tersebut aku merasa kondisi psikisku lebih baik, aku punya lebih banyak waktu dengan buku-buku tanpa perlu berhenti membaca hanya untuk mengambil gambar dan kubagaikan di sosial media, lebih menikmati semua lagu-lagu yang kudengar tanpa sibuk-sibuk merekam lalu menguploadnya ke insta-story. Dan yang lebih penting dari itu semua, Digital Detox membuatku mempunyai lebih banyak waktu untuk mengobservasi orang-orang di sekelilingku, peduli pada lingkunganku serta lebih mengenal dan memahami diri sendiri.

Barangkali kita memang perlu banyak waktu untuk merenung, menyepi dan benar-benar peduli pada diri sendiri juga orang-orang terdekat. Ada sebuah kebahagiaan dan kelegaan yang berbeda ketika kita belajar kembali menapak bumi dan berhenti sejenak “mengawang-awang,” hehee maksudku ada perasaan bahagia yang berbeda ketika kita betulan hidup di dunia nyata, ketika segala interaksi dapat kita nikmati dengan semua panca indera kita. Ketika itulah aku menemukan bahwa kedamaian hati dan bahagia terasa justru ketika kita benar-benar sepenuhnya memberikan perhatian pada hal-hal di sekeliling kita tanpa kepikiran untuk membagikannya di sosial media.

Sekarang aku tidak perlu berlari-lari lagi dari keriuhan dunia maya. Digital Detox sudah membantu memberikan pemahaman baru bagiku, bahwa aku punya kendali penuh untuk menggunakan sosial media dengan cara yang lebih baik. Secara tidak langsung pemahaman tersebut kemudian mengontrol dan mengatasi kecanduanku. Aku merasa lebih baik dan dapat mengendalikan diri terhadap “racun” yang disebabkan oleh sosial media.

Jika kau mengalami hal serupa, barangkali kau perlu istirahat sejenak. Jika tidak, semoga saja kita semua dapat selalu bijak dalam menyikapi arus perkembangan teknologi informasi komunikasi yang kian hari kian pesat dan tak dapat kita hindari.
Terakhir, semoga tulisan ini bermanfaat dan terimakasih sudah membaca :))

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena