Mengenal Ancaman Hukum Pada Pelaku Bullying dan Perlindungan Terhadap Korban Dari Perspektif Hukum


 Oleh : Dandy Aditya Qasthari, S.H.

https://iam1in4.com/2017/04/21-things-to-say-to-someone-being-bullied/

Halo semuanya. Halo juga teman-teman pembaca setia dari blog milik rekan saya ini yaitu Restiana Purwaningrum. Sebelumnya izinkan saya untuk memperkenalkan diri saya. Dengan nama lengkap Dandy Aditya Qasthari, saya dikenal juga sebagai Dandy merupakan rekan dari pemilik blog ini Restiana Purwaningrum. Saya adalah rekan satu angkatan, satu konsentrasi bagian Skripsi, satu ruangan magang dan tentunya satu rumah di organisasi yang kami tekuni, yaitu “Justitia Club”. Senang rasanya diberikan kesempatan, dipercaya oleh Resti untuk menjadi salah satu kontributor dalam series artikel Kamis Menulis di blog ini. Oh iya, cukup berbasa-basi dan tentunya mari kita mulai untuk memasuki pembicaraan inti dari tulisan ini.
Yaps! Sekitar beberapa hari lalu saya membaca tulisan yang dipublikasikan oleh Resti lewat blognya dalam series Kamis Menulis ini. Tema tulisannya cukup menarik, bullying. Sebuah tema yang memang begitu menarik dan tentunya ini adalah tema yang dekat sekali dengan kehidupan sehari-hari anak dan remaja di Indonesia. Dekat bukan karena ini adalah hal yang baik, justru lebih memberi dampak yang buruk dan cenderung mempengaruhi mental serta psikis dari korban bullying. Mengawali sebuah tulisan dengan memaparkan mengenai sebuah series yang ditayangkan di media elektronik yang mengangkat tema bullying Resti kemudian dalam tulisan sebelumnya (Episode 1) mencoba membagi mengenai apa itu bullying, mengajak kita untuk menyadari bahwa ini bukan hal kecil, bukan perkara sepele. Ini adalah masalah besar yang harus kita hadapi bersama, harus diatasi bersama. Resti juga menawarkan beberapa gagasan yang menurut saya sebenarnya brilian dan sangat mudah untuk kita terapkan dalam kehidupan kita. Hanya kembali pada diri kita sendiri lagi, apakah kita telah menyadari bahwa bullying adalah tindakan yang berbahaya atau masih menanggapnya sebagai sebuah kejadian biasa.
Bullying yang berasal dari kata bully dalam bahasa Indonesia artinya rundung dan bisa dipahami jika bullying memiliki arti yaitu perundungan. Bullying atau perundungan itu sendiri dimaknai sebagai suatu aksi atau serangkaian aksi negatif yang seringkali agresif dan manipulatif, dilakukan oleh satu atau lebih orang terhadap orang lain atau beberapa orang selama kurun waktu tertentu, bermuatan kekerasan, dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan. Praktik ini biasanya dilakukan pada orang yang merasa lebih berkuasa, lebih superior dan lebih besar kepada mereka yang lebih kecil, dianggap lemah dan tidak berdaya. Kasus bullying sering kita jumpai dalam institusi pendidikan dimana kakak kelas seringkali mengganggu, mencecar, meneriaki atau bahkan melakukan tindak kekerasan kepada adik kelasnya. Tindakan ini dilakukan terutama kepada yang dirasa memiliki fisik berbeda dari mereka, entah itu bertubuh kecil, bertubuh gendut atau bahkan disabilitas sekalipun. Atas nama “kehormatan” dan “Menghargai” saya rasa ada yang salah dalam penafsiran kata “kehormatan” dan “menghargai” oleh mereka. Semakin miris karena hingga hari ini pun bahkan hal ini banyak kita temui di kampus-kampus dan sekolah-sekolah menengah.
Saya sendiri merasakan hal ini. Kampus dan sekolah menengah yang menurut saya adalah ruang dimana kebebasan berpendapat diagungkan dan ruang di mana manusia berlomba-lomba untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya, justru tercoreng karena adanya oknum-oknum tertentu yang salah dalam menafsirkan “kehormatan” dan “menghargai”.  Kalau boleh saya meminjam istilah dari Soe Hok Gie “masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas ketika berkuasa.” Maka dengan “atas nama senioritas” itulah kemudian oknum-oknum ini menindas mahasiswa-mahasiswa baru yang masuk ke kampus atau sekolah mereka.

Saya sempat berpikir apasih untungnya, kenapa sih mereka seperti itu. Hingga akhirnya saya merasa menemukan jawaban bahwa mereka menjadi seperti itu karena mereka adalah korban dari tindakan seperti itu. bullying yang dilakukan oleh senior-senior mereka dahulu kemudian dilanjutkan oleh mereka kepada adik-adik mereka. “Dendam” ini yang timbul sebagai salah satu dampak dari tindakan bullying itu sendiri. Ada rantai dendam kesumat yang terus terangkai tahun ke tahun karena korban bullying tadi tidak mampu membalas kepada seniornya, maka dia melampiaskan itu pada adik-adiknya yang baru datang, yang masih “hijau” dan tidak mengerti apa-apa tentang dunia perkuliahan. Lucunya, hal ini dilakukan oleh mereka yang tidak jelas kiprah dan prestasinya dalam bidang apapun di kampus itu.
Ada rantai dendam kesumat yang terus terangkai tahun ke tahun karena korban bullying tadi tidak mampu membalas kepada seniornya, maka dia melampiaskan itu pada adik-adiknya yang baru datang, yang masih “hijau” dan tidak mengerti apa-apa tentang dunia perkuliahan. Lucunya, hal ini dilakukan oleh mereka yang tidak jelas kiprah dan prestasinya dalam bidang apapun di kampus itu.

Ada banyak tindakan yang ingin dilaksanakan untuk mencegah dan menanggulangi hal ini. Sesuai dengan judul yang tertulis diatas, maka dalam kesempatan ini saya akan mencoba untuk meninjau bullying dari perspektif hukum yang berlaku di negara ini. Hal ini saya lakukan mengingat latar belakang saya sebagai “orang hukum” dan tentunya keprihatinan saya tentang masih rendahnya penegakkan hukum dalam ranah bullying ini terutama terhadap korbannya.
Hukum di Indonesia sebenarnya telah mengakomodir perihal bullying ini didalam Pasal 54 UU 35/2014 yang mengatur bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindak kekerasan di sekolah, sebagai berikut:
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
Dapat dipahami jika dalam Pasal 54 tersebut sudah berupaya untuk memberikan perlindungan kepada anak dan mencegah terjadinya praktik bullying. Tak cukup sampai di situ, hukum di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 35 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelrindungan Anak juga mengatur mengenai ancaman pidana bagi siapa saja yang melakukan tindakan, melakukan pembiaran, menyuruh melakukan atau turut serta dalam melakukan Kekerasan pada anak yaitu diatur dalam Pasal 80 UU 35/2014:
(1)    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)    (2)  Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)    (3)  Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4)    (4)  Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

Dalam Undang-Undang yang sama pula dinyatakan bahwa kita sebagai masyarakat memiliki tanggungjawab untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindakan bullying terhadap anak. Hal ini dapat kita temukan dalam Pasal 72 UU 35/2014. Dalam ketentuan Pasal tersebut dapat ditemui bahwa tanggungjawab yang dimiliki oleh kita sebagai masyarakat terhadap pencegahan terjadinya tindakan bullying adalah berupa memberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai Hak Anak dan peraturan perundang-undangan tentang Anak; memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait Perlindungan Anak; melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran Hak Anak; berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi Anak; melakukan pemantauan, pengawasan dan ikut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; menyediakan sarana dan prasarana serta menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh kembang Anak; berperan aktif dengan menghilangkan pelabelan negatif terhadap Anak korban; dan memberikan ruang kepada Anak untuk dapat berpartisipasi dan menyampaikan pendapat. Selain itu, media massa juga memiliki peran dan tanggungjawab melalui proses penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan Anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak.
Jauh sebelum adanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 berlaku, sebenarnya berbagai tindakan bullying baik yang dilakukan melalui kekerasan fisik dan maupun verbal telah memiliki sanksi pidana tersendiri yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal yang mengatur beserta ancaman pidananya dapat dilihat sebagai berikut:




Bentuk Bullying
Jenis Delik
Aturan Hukum Terkait
Ancaman Hukum



Kekerasan
Fisik
Perampasan Kemerdekaan
Pasal 333 KUHP
8-12 Tahun Penjara
Penganiayaan
Pasal 351 KUHP
5 Tahun Penjara
Penyerangan Dengan Tenaga Bersama Terhadap Orang Atau Barang
Pasal 170 KUHP
5-12 Tahun Penjara
Pemerasan
Pasal 368 KUHP
9 Tahun Penjara
Memaksa Orang Melakukan/Membiarkan Perbuatan Cabul
Pasal 289 KUHP
9 Tahun Penjara

Verbal & Psikologis
Pengancaman
Pasal 369 KUHP
4 Tahun Penjara
Perbuatan Tidak Menyenangkan
Pasal 335 KUHP
1 Tahun Penjara
Pengancaman Di Muka Umum Dilakukan Bersama
Pasal 336 KUHP
2-5 Tahun Penja
Sumber : https://snw-partners.com/index.php/2017/12/04/maraknya-bullying-penyebab-pencegahan-dan-pandangan-dari-segi-hukum/

Selanjutnya, khusus dalam bidang pendidikan sendiri telah diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan pada Satuan Pendidikan. Pencegahan ini juga dikuatkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru yang ditujukan untuk mengatur mengenai masa orientasi siswa. Seperti sebagaimana kita ketahui bahwa MOS atau OSPEK atau PMB merupakan saat dimana paling sering dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan tindakan bullying kepada siswa baru atau mahasiswa baru.

Setelah membaca tulisan diatas tentu kita telah mengetahui jika sebenarnya dari segi peraturan, hukum di Indonesia telah mengakomodir dan memberikan perlindungan kepada anak. Bahkan telah mengatur juga ancaman pidana terhadap tiap tindakan bullying yang dilakukan oleh pelaku, baik berupa kekerasan verbal/psikologis dan fisik sekalipun. Hanya saja, masih menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita, kenapa aturan telah ada tapi masih saja dilanggar? Maka dari itu dalam kesempatan ini saya ingin memperjelas bahwa apapun itu hukumnya, bagaimana pun bentuk ancaman hukumannya jika tidak disertai dengan dukungan oleh masyarakat yang menjadi tempat dimana aturan itu diterapkan, maka akan menjadi ketentuan diatas kertas saja, tidak akan efektif.

Oleh karena itu diperlukan sinergi dan kerja sama antar pihak untuk mencegah tindakan bullying. Sinergi dan kerja sama perlu dilakukan untuk memutus mata rantai dendam yang tercipta dari tindakan bullying. Aturannya sudah ada, lembaga tempat mengadu dan menjalankan pencegahan sudah ada, sekarang tinggal kembali pada kita apakah kita mau melakukan pembiaran dan bahkan menjadi pelaku atau menjadi pencegah? Ingat menurut hukum kita punya tanggungjawab mencegah loh….
Keputusan ada di tangan kita.
Terima kasih!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena