Memahami Kartini Bukan Sekadar Seremoni



Ada hal yang selalu mengusikku ketika April datang dan para perempuan akan mulai sibuk dengan berbagai macam perlombaan. Tentu untuk memperingati hari lahir seorang tokoh emansipasi wanita Indonesia, siapa lagi jika bukan Kartini. Seorang putri Bupati Jepara itu dikenal karena surat-surat berisi pemikirannya pertama kali diterbitkan pada tahun 1911 di Semarang, Surabaya, dan Den Haag. Kumpulan surat tersebut diberi judul Door Duisternis tot Licht atau dalam bahasa Melayu diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Namun sayang, pemikiran-pemikiran luar biasa Kartini itu seolah tenggelam dalam peringatan hari besarnya. Orang-orang lebih senang mengingatnya dengan Kebaya dan sanggul ketimbang memahami isi kepalanya.

Perbincanganku dengan ibuku tahun lalu terulang kembali, soal peringatan hari Kartini di tempatku yang begitu-begitu saja. Ku katakan pada ibuku, “Ma, Kartini itu besar karena pemikirannya bukan karena kebayanya. Kartini berkebaya karena dia orang Jawa, kalau dia orang Dayak mungkin dia ndak akan berpakaian seperti itu,” kataku pada ibuku yang menjadi panitia peringatan hari Kartini. Seperti biasanya ibuku selalu terbuka dengan saran serta kritik dariku. Aku bilang ke ibuku bahwa seharusnya kita memperingati hari Kartini dengan cara yang lebih intelektual serta bisa mendorong kreatifitas ibu-ibu desa bukan hanya mempertontonkan keserasian memakai kebaya atau lomba memasak.  “Kartini itu dekat dengan dunia seni, dengan kreatifitas, sudah seharusnya kita merayakan hari besarnya dengan hal-hal yang lebih punya output bukan sekadar seremoni,” kataku mencoba berbagi. Ibuku tentu menerima usulku, ia sampaikan apa-apa yang kami bicarakan dan diskusikan sebelumnya di forum ibu-ibu desa, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Ibu-ibu desa lebih memilih merayakan hari Kartini seperti biasanya ketimbang dengan usul baru yang ditawarkan oleh ibuku tadi – contohnya lomba tentang pengetahuan umum (disesuaikan dengan kebutuhan ibu-ibu), lomba menyampaikan opini, atau lomba menghasilkan sebuah karya (seperti kerajinan tangan atau keterampilan khsusus). Bagiku hal-hal seperti itu lebih berfaedah ketimbang lomba busana kebaya atau sekadar berkebaya di tanggal 21 April dan mengunggah fotonya di sosial media dengan caption ala-ala emansipasi wanita.

“Namanya juga masyarakat butuh hiburan,” begitu kata ibuku. Ya aku paham, peringatan hari-hari memontum seperti ini memang selalu ditunggu oleh masyarakat Desa. Hal-hal seperti ini jadi hiburan di Desa yang sepi. Namanya juga hiburan ya pastinya mau yang hepi-hepi, kenapa juga harus menguras pikiran lebih. Begitulah perayaan hari Kartini di tempatku dari tahun ke tahun. Belum lagi soal proposal kegiatan atau spanduk bertuliskan Peringatan Hari Lahir Raden Ajeng Kartini. Aku sempat berpikir, sedihkah Kartini di dalam dunianya sana ? Apa dia tidak ingin memprotes jika bisa ?
“Panggil Aku Kartini Saja” adalah sebuah buku biografi Kartini yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer. Judul buku tersebut diambil dari perkataan langsung seorang Kartini, “panggil aku Kartini saja – itulah namaku,” begitu katanya menolak orang-orang yang memanggilnya Raden Ajeng seperti yang terdapat dalam suratnya kepada seorang sahabatnya Stella (Estelle Zeehandelaar) di Belanda. Raden Ajeng adalah gelar kebangsawanan Jawa yang otomatis melekat pada seorang perempuan keturunan ningrat dari generasi kedua hingga ketujuh dari raja yang pernah memerintah. Seorang Raden Ajeng akan disebut Raden Ayu ketika telah menikah. Berulang kali Kartini menggugat gelar yang melekat padanya. Ia tidak ingin menjadi Raden Ayu, menurutnya ketika seorang perempuan menjadi “raden ayu” maka tamatlah segalanya. Itulah sebabnya ia ingin menanggalkan “raden ajeng” agar tidak menjadi “raden ayu”. Dari persoalan raden ajeng dan raden ayu tersebut kita tentu sudah mengetahui bahwa Kartini menolak Feodalisme yang melekat padanya. Namun sebetulnya apa saja yang diperjuangkan oleh Kartini dalam semua keterbatasannya ?

Kartini terlahir dalam keluarga bangsawan, leluhurnya adalah raja Jawa dan kakeknya adalah Bupati Demak. Sejak lahir ia telah terkungkung oleh feodalisme yang melekat padanya. Hingga kemudian ia harus hidup dalam pingitan pada usia 12 tahunan, yang tentu saja semakin menyiksanya. Pada masa inilah Kartini mengalami pergolakan pemikiran dan pendalaman yang cukup dahsyat dalam hidupnya. Dikekang oleh peraturan-peraturan yang tak kenal ampun seakan memaksa hidupnya yang masih muda itu untuk memahami persoalan-persoalan yang belum layak dihadapinya. Namun hal tersebut justru mengubahnya menjadi wanita dewasa. Pergolakan pemikiran, perenungan, membuatnya mempertanyakan banyak hal sekaligus memahami banyak hal.

Kartini pernah bersekolah di Sekolah Rendah Belanda – begitu disebutkan. Dari sekolah inilah ia mendapatkan banyak teman Eropa yang kemudian menjadi sahabat penanya. Berada dalam pingitan memang benar-benar membuat Kartini menderita. Adat istiadat yang begitu kaku telah menciptakan kesenjangan antara ia dan saudara-saudaranya yang lebih tua hingga menyebabkan Kartini merasa sangat kesepian karena tidak ada tempat berbagi. Saat inilah ia melarikan dirinya ke dalam buku-buku, menulis, serta berkirim surat pada teman-teman Eropanya itu. Buku-buku serta pertukaran pikiran lewat surat itulah kemudian yang banyak mempengaruhi pribadi Kartini serta cikal bakal dari pikiran bebasnya (dari kekakuan adat istiadat Jawa).

Setelah bebas dari pingitan selama empat tahun, Kartini kemudian perlahan mulai mengenal dunia sekitarnya lebih dekat. Pemikiran-pemikiran yang pada mulanya hanya ia sampaikan melalui surat atau yang ia dapatkan lewat buku kemudian mulai menyentuh realita sosial dari masyarakatnya sendiri. Ia mulai mengenal penderitaan masyarakat dalam lingkungannya sendiri sekaligus mengenal kesulitan-kesulitan para pembesar pribumi. Kartini menyadari bahwa feodalisme adalah momok yang sangat menakutkan namun pada sisi yang lain, latar belakang sebagai seorang anak bangsawan membuatnya cukup memahami kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pembesar pribumi pada saat itu karena kolonialisme masih menggerogoti dunia pribumi dari segala sisi. Kartini begitu resah akan pemikirannya yang dapat dikatakan melampaui perempuan-perempuan pribumi seusianya pada masa hidupnya dalam pingitan, namun ternyata setelah ia terjun langsung dan melihat sendiri penderitaan rakyatnya, keresahan itu justru semakin menjadi. Hal tersebut menyebabkan rasa ingin tahunya semakin tinggi. Kartini mencoba memahami rakyatnya dari segala sisi, mulai dari keseharian hingga pada bidang-bidang lain seperti seni, bahasa dan sastra.

Pemikiran-pemikiran Kartini kemudian tidak hanya terbatas pada perlawanan akan feodalisme saja tetapi semakin meluas ke hal-hal lainnya. Diskusi bersama Stella sahabat penanya yang seorang feminis sosialis banyak membuka mata Kartini tentang persoalan perempuan dan penindasan, juga kepeduliannya pada dunia pendidikan pribumi. Dari cerita-cerita tersebut dapatlah kita ketahui bahwa Kartini memiliki pemikiran-pemikiran yang besar untuk bangsanya. Pemikiran serta pemahaman tersebut tidak didapatnya dengan serta merta melainkan melalui begitu banyak keresahan serta kegelisahan yang harus dihadapinya seorang diri. Selain itu, kecintaannya kepada Ayahnya telah membuat Kartini menjalani hidup dengan penuh dilema. Di satu sisi, ia sangat mencintai ayahnya namun di sisi yang lain ia menyadari bahwa kuasa yang dimiliki ayahnya lah yang mengekang semua kebebasannya selama ini.
Pada sebuah tulisan yang ditulisnya dengan gaya bercerita orang ketiga ia pernah menulis :
“Sekiranya tak ada padanya bapa yang dicintai, abangnya yang setia dan buku-bukunya, mungkinkah ia dapat lewatkan tahun-tahun gelap itu dengan selamat ? Tentulah ia sudah tewas, tak tahan menderitakan tindasan berat kejengkelan yang begitu banyak di atas panggung hidupnya dan jiwanya yang masih begitu muda.”

Dalam hal ini tentu kita bisa membayangkan pergolakan batin semacam apa yang sempat dilalui oleh Kartini. Di tengah segala keterbatasannya justru ia mempunyai pemikiran serta cita-cita yang besar, yang hingga kini terus kita ingat sebagai tonggak perjuangan dari emansipasi wanita. Tetapi sudah benar-benarkah kita mengenal dan memahami Kartini ?
Kembali lagi pada perayaan hari Kartini di negeri ini yang selalu kita peringati dengan rasa bangga. Bahwa Kartini adalah simbol dari kebangkitan perempuan, bahwa Kartini adalah bukti perempuan juga berhak mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, bahwa Kartini adalah pahlawan wanita yang menyebabkan kita dapat merdeka dan bersekolah setinggi-tingginya. Namun sudah selesaikah semua permasalahan kaum perempuan sebenarnya ? Tentu aku tidak akan melampirkan berapa banyak kasus pelecehan terhadap perempuan yang terjadi di negeri ini setiap tahunnya, seberapa banyak anak perempuan yang putus sekolah karena pernihanan dini, kita sama-sama bisa mencari tahu sendiri jawabannya.

Memaknai Kartini sesederhana hematku adalah dengan membaca banyak buku, belajar banyak hal dan melawan kebodohan serta pembodohan. 
Kita sebagai generasi yang sudah sangat dimudahkan oleh teknologi informasi seharusnya malu pada Kartini yang penuh dengan keterbatasan di masanya. Sudah seharusnya kita membaca lebih banyak buku ketimbang Kartini, sudah seharusnya kita memiliki pemikiran-pemikiran yang lebih hebat daripada Kartini, sudah seharusnya pula kita berbuat dan berkarya lebih banyak daripada Kartini. Itulah hal termudah yang bisa kita lakukan untuk memaknai, memahami serta menghargai pemikiran-pemikiran Kartini yang besar. Melanjutkan cita-citanya dalam bentuk karya nyata yang berguna bukan sekadar mengingatnya pada momentum tertentu lantas kemudian lupa atau bahkan tidak mengerti sama sekali dengan apa yang selalu kita peringati.
Tentu tulisan ini aku tujukan kepada sesama temanku yang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan, akan lain halnya lagi jika aku bicarakan hal-hal semacam ini pada ibu-ibu di Desa yang tidak bisa membaca (Nah ini, di abad ke-21 ini masih banyak orang-orang yang belum bisa membaca, kalau tidak percaya silakan datang ke desa-desa di pedalaman Kalimantan Barat. Ini tentu yang sudah aku kunjungi, di daerah lain aku tidak punya cerita).

Maka daripada itu, sudah saatnya kita, generasi muda yang diberi kesempatan lebih luas untuk berkembang dan sadar bahwa lewat tangan-tangan dan pemikiran kitalah perubahan kecil itu dapat tercipta. Setidaknya dimulai dari hal-hal sederhana. Dimulai dari diri sendiri, dengan tidak malas membaca dan mencari tahu. Dengan begitu, semoga Kartini tidak hanya sebatas tokoh mitos di berbagai hari peringatan namun juga dapat menjiwai setiap sendi-sendi kehidupan.

Sampai jumpa di Kamis Menulis episode selanjutnya :))


Komentar

  1. Mengenang Kartini tdk hanya seremonial saja. Ulasan yg padat dan membuka pemikiran baru utk 21 April

    BalasHapus
  2. Mari melanjutkan mimpi-mimpi Kartini dengan berkarya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena