Refleksi Hari HAM dan Buku Laut Bercerita


Waktu itu, di pagi hari seperti biasa aku selalu melihat timeline instagram sebelum memulai aktivitas hari itu. Kudapati sebuah postingan buku baru di akun instagram toko buku online langgananku. Dari nama penulisnya saja aku sudah langsung jatuh hati pada buku dengan cover penampakan alam bawah laut dan sepasang kaki yang dirantai di batu karang itu. Buku itu diberi nama Laut Bercerita, belum juga aku melihat caption pada postingan tersebut, aku sudah menebak-nebak bahwa buku ini pasti isinya tidak jauh berbeda dari buku sang penulis sebelumnya. Benar saja, pada tahun 2012 Leila S. Chudori pernah melahirkan sebuah buku dengan judul Pulang, aku membacanya berkat rekomendasi seorang senior di Pers Mahasiswa – bukunya pun ku pinjam darinya.

Jika buku Pulang berkisah tentang eksil politik Indonesia yang tidak dapat kembali ke tanah air setelah paspornya dicabut oleh pemerintah Indonesia pada saat itu hingga mereka mendapatkan suaka dan menetap di Perancis – lalu membuat restoran tanah air di sana. Maka Laut Bercerita adalah sebuah kisah tentang beberapa mahasiswa yang aktif dalam organisasi bernama Winarta dan Wirasena – Biru Laut diantaranya. Mereka aktif melaksanakan diskusi-diskusi serta turun aksi membantu para petani tertindas dan membela masyarakat yang mendapat perlakuan tidak adil oleh negara. Aksi tersebut mereka lakukan dengan bergerilya mengingat betapa refresifnya rezim pemerintahan di Indonesia pada saat itu.

Setelah melakukan berbagai aksi (yang sudah lama tercium oleh aparat), pada tahun 1996 Winatra dan Wirasena dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Sejak saat itu pula, Biru Laut dan beberapa temannya (orang berpengaruh di kedua organisasi tersebut) harus berpindah-pindah tempat tinggal dan bersembunyi dari buruan aparat. Hingga pada tahun 1998 saat puncak huru-hara terjadi, mereka tertangkap di persembunyian. Beberapa dari mereka kembali, dan sebagian yang lain dinyatakan hilang, termasuk Biru Laut.

Laut Bercerita dan Pulang memiliki banyak sekali kesamaan – tentu karena penulisnya adalah orang yang sama. Namun persamaan yang cukup penting adalah bahwa kedua buku ini ditulis dengan latar belakang peristiwa sejarah yang cukup kelam di Indonesia. Pada buku Pulang latar belakang sejarah yang diangkat oleh penulis adalah peristiwa 30 September 1965 yang memakan banyak korban jiwa, beberapa orang tidak dapat kembali ke negaranya sendiri dan harus mengembara di beberapa negara karena identitasnya dicabut – belakangan ini aku baru tahu kalau buku Pulang adalah cerita tentang kehidupan seorang Sobrin Aidit yang mendirikan restoran Indonesia di Perancis. Sementara Laut Bercerita berlatarbelakang peristiwa orang-orang hilang menjelang reformasi 1998. Sebanyak 13 orang dinyatakan hilang dan belum ada kejelasan hingga sekarang.

Pada kedua novel ini Leila S. Chudori berusaha menunjukkan bahwa kedua peristiwa sejarah di Indonesia ini  sangat berdampak secara psikis dan fisik tidak hanya pada diri sang korban tapi juga keluarga, kerabat dan semua yang ditinggalkan. Bagaimana rasanya tinggal di negara orang bertahun-tahun lamanya, berpisah dengan orang-orang yang dicinta dan melanjutkan hidup dengan perasaan rindu yang menggebu-gebu pada tanah kelahiran. Bagaimana rasanya menanti anak, saudara, suami, kerabat tercinta yang tidak kunjung pulang ke rumah serta nasibnya tak tentu arah. Sisi psikis itulah yang ingin disampaikan oleh Leila S. Chudori dalam kedua bukunya tersebut.

Kedua buah novel tersebut – beserta novel-novel berlatang sejarah yang lain tentunya, patut untuk dijadikan bahan referensi mengenai sejarah kelam negara kita tercinta Indonesia. Namun mirisnya adalah sampai dengan penghujung tahun 2017 ini kasus-kasus tersebut masih belum memiliki penyelesaian yang jelas. Barangkali penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu masih menjadi hal yang cukup tabu di negeri ini. Kita tentu masih ingat betapa hebohnya pembubaran diskusi mengenai sejarah peristiwa di tahun 65  pada bulan September lalu. Betapa takutnya orang-orang akan sebuah pelurusan sejarah – sebuah sudut pandang cerita yang berbeda dari yang mereka dengar sebelumnya. Selain itu juga pada tahun ini aksi kamisan di depan istana genap berusia 10 tahun. Tentu hal tersebut menunjukkann sebuah perjalanan yang begitu panjang perihal menuntut hak asasi di negeri ini.
Tentu kita juga sudah banyak mendengar tentang beberapa aktivis HAM yang dikriminalisasi hanya karena menyatakan sebuah pendapat tentang peristiwa HAM di masa lalu. Kasus-kasus pembenrangusan hak hidup masyarakat yang belakangan ini eksis di media sosial – seperti kendeng lestari dan penggusuran di jogja, belum lagi berbicara soal Papua, dan masih banyak lagi pelanggaran HAM yang terjadi dan seolah dibiarkan begitu saja.

Hal ini tentu adalah sebuah keprihatinan, kenyataan bahwa negara kita belum bisa berdamai dengan masa lalu. Aku mungkin bukan orang yang secara langsung merasakan hidup di zaman Orde Baru – ketika aku berusia dua tahun orde baru runtuh, tapi semakin bertambah usiaku, aku membaca, mendengar, menonton, dan mencoba memahami apa yang terjadi pasa saat itu. Tentu mengerikan jika kita yang notabenenya adalah pribadi, individu yang memiliki akal pikiran sendiri kemudian tidak bisa menyatakan ketidaksetujuan terhadap sesuatu. Tentu menakutkan jika berpuisi dan membuat syair saja dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka daripada itu teman-teman, bersyukurlah. Bacalah buku-buku sejarah – tentu bukan sejarah yang kita pelajari di sekolah, belajarlah dari masa lalu supaya kita bisa bijak melangkah dan menghargai sejarah. Aku mungkin bukan orang yang banyak membaca buku, tapi aku ingin mengajak teman-teman (minimal) menyadari bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi yang kita dapatkan sekarang ini adalah buah dari perjuangan orang-orang yang menolak bungkam, orang-orang yang berani melawan kekuasaan yaang mutlak pada saat itu. Tumbalnya adalah 13 orang yang hilang tanpa kejelasan hingga saat ini. Persoalannya tidak hanya sampai pada mereka yang hilang saja tetapi berdampak besar pada mereka yang ditinggalkan. Kepedihan karena pengaharapan dan ketidakjelasan (beban psikis)  tentu sangat pedih dan akan membunuh secara perlahan.

Jika merefleksi pada hari HAM Internasional hari ini, tentu akan terasa menyedihkan mengingat perjuangan panjang yang dilakukan keluarga korban hingga kini belum berbuah hasil. Rekor 500an aksi kamisan adalah bukti sebuah harapan yang masih menyala,  harapan bahwa suatu saat pemerintah kita bisa mendengar suara-suara mereka yang kehilangan. Penting untuk merawat ingatan dan menjaga kewarasan, supaya semakin banyak orang yang bersuara dan semoga bisa menggugah relung terdalam dari orang-orang yang berkewajiban menuntaskan tragedi di masa lalu.

Aku, kamu, kita mungkin bukan kerabat, keluarga dari orang-orang yang hilang dan korban dari pelanggaran HAM masa lalu. Aku, kamu, kita mungkin mengenal mereka lewat sosial media, dari mulut yang satu ke mulut yang lain, tetapi mengutip perkataan kakek Pram “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, meskipun dia sarjana.”

Terakhir semoga Wiji Thukul, Munir, teman-teman yang gugur pada peristiwa Semanggi, Trisakti dan semua orang yang dilanggar HAM nya dimanapun mereka berada, semoga suatu saat bintang utara bersinar di langit harapan kita. Panjang umur perjuangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena