Tradisi lebaran dari ujung barat kalimantan.

Pukul 17.30. Sang surya mulai beranjak kembali ke persembunyiannya. Dari jendela dapur, tampak langit mulai dihiasi mega-mega, pertanda malam akan segera datang. Mengiringi suara riuh mamak yang sedang sibuk memasak lauk dari sudut dapur, di ruangan tengah aku sibuk menyiapkan sajian untuk berbuka. Sementara bapak dan Anzas sedang takjim mendengarkan radio, menunggu suara adzan magrib dari kotak persegi panjang dengan antena tersebut berbunyi – pertanda waktu berbuka. Akhirnya lima belas menit kemudian waktu yang dituggu-tunggu datang juga, segera aku, mamak, bapak, anzas dan juga usu (sebutan untuk paman bungsu) menyantap hidangan yang telah ku persiapkan sejak tadi sore. Hidangan berbuka yang sederhana namun terasa begitu nikmat untukku sebab sudah terlalu lama tidak merasakan suasana berbuka bersama dengan keluarga. Tidak memerlukan waktu yang lama, dalam hitungan sepuluh menit ubi goreng dan juga jus apel yang disajikan untuk berbuka langsung habis tak bersisa. Selesai berbuka dan solat magrib aku langsung membantu mamak menyiapkan makanan utuk makan malam. Sementara Anzas dan bapak kembali takjim di depan TV menananti hasil sidang isbat sebagai penentuan 1 syawal 1436 Hijriah. Tak lama kemudian, terdengar suara usu dari rumah sebelah memanggil Anzas untuk mempersiapkan obornya, sebab jika besok adalah 1 syawal maka malam ini akan ada takbiran keliling kampung dengan membawa obor dan mengiring miniatur masjid. Anzas pun segera membantu usu menyiapkan obor.
Beberapa saat kemudian, sidang isbat berakhir dan 1 syawal jatuh pada 18 juli 2015 yaitu esok hari. Akupun langsung bersiga membantu mamak menyiakan makanan untuk pelabor (hidangan) saat takbiran keliling ke rumah-rumah. Takbiran keliling ke rumah-rumah warga merupakan tradisi yang aku tahu sejak aku kecil dan sejak aku mampu mengingat sesuatu, sudah berlangsung sejak lama. Dimulai dengan takbiran bersama di Masjid besar di Desa Nanga Tebidah kemudian berlanjut takbiran ke rumah warga pada masing-masing RT. Selanjutnya, seperti yang sudah ku ceritakan sedikit tadi, setelah takbiran massal di Masjid besar, sebagian masa (khususnya kaula muda) melakukan takbiran keliling dengan membawa obor dan menggiring miniatur masjid yang dibuat persis seperti masjid-masjid yang ada di Desa Nanga Tebidah dan Desa Landau Bara. Dua desa terdekat yang mayoritas penduduknya adalah muslim di kecamatan Kayan Hulu. Oke, mungkin boleh aku ceritakan sedikit tentang kedua desa ini. Pada mulanya kedua desa ini tergabung ke dalam desa Nanga Tebidah namun sejak tahun terjadi pemekaran desa yang memisahkan kedua desa ini. Secara administratif kedua desa ini memang berpisah namun dalam banyak hal, kedua desa ini masih melakukkannya secara bersama-sama, seperti halnya dalam peringatan hari raya idul fitri ini maupun dalam peringatan hari-hari besar lainnya.
Pawai obor, begitulah orang-orang disini menyebut tradisi yang baru empat sampai lima tahun ini berlangsung. Sebenarnya pawai obor dengan menggiring miniatur masjid tersebut bukanlah tradisi asli desa Nanga Tebidah, hal tersebut hanyalah inisiatif dari para kaula muda desa Nanga Tebidah yang tergabung di dalam sebuah organisasi kecil yaitu Remaja Masjid (Remas). Organisasi ini menaungi segala aspirasi dan kreativitas anak muda dalam hal keagaamaan yang diwujudkan dengan melakukan berbagai kegiatan seperti pada peringatan hari-hari besar Islam. Tujuan diadakannya pawai obor tersebut tidak lain tidak bukan adalah untuk menambah rasa “suka cita” menjelang hari kemenangan.
“Allahuakbar... Allahuakbar...Allahuakbar...Walilla...Ilham,” begitulah gema takbir yang terdengar sepanjang jalan Desa Nanga Tebidah, dari kejauhan tampak obor-obor menyala tidak hanya menerangi jalanan Desa yang gelap nan sunyi pada malam-malam biasanya itu. Tapi juga ikut menerangi hati dan perasaan semua orang yang merayakannya, sebab aura kemenangan benar-benar terasa malam ini. Menurutku, beginilah tradisi serta cara yang benar dalam merayakan hari kemenangan. Tidak dengan pawai menggunakan kendaraan roda dua (motor) yang selain membuat bising teling akibat suara motor, dan mengganggu aktivitas masyarakat yang melakukan takbiran keliling ke rumah-rumah, juga tidak baik untuk kesehatan sebab menimbulkan polusi udara yang luar biasa. Tidak juga dengan membunyikan petasan-petasan yang dibeli dengan harga yang tidak murah lalu kemudian dibunyikan dengan sesuka hati dan mengganggu hidmatnya nuansa hari kemenangan. Menurutku cara terbaik untuk merayakan suatu kemenangan adalah kembali kepada tradisi dan cara yang sesuai dengan kultur masyarakat setempat.
Nah, teman-teman ceritaku masih berlanjut tentunya. Masih ada tradisi unik yang dilakukan pada saat hari ke dua sampai ke empat lebaran. Nantikan edisi selanjutnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena