Untuk kesekian kalinya...



Akhir pekan yang tak jarang berujung membosankan sering kuhabiskan dengan mengunjungi Toko Buku, baik untuk membaca maupun hanya sekedar melihat-lihat koleksi terbaru. Kali ini aku tidak datang sendiri, tapi bersama seorang teman yang baru ku kenal tiga bulan yang lalu. Aku tidak mempunyai banyak teman disini, karena teman-teman sekolahku kebanyakan melanjutkan studi di pulau seberang. Dan Luna adalah teman terdekatku saat ini. Aku masih melanjutkan novel bacaanku yang belum selesai minggu kemarin, saat Luna berseru bahwa Ia ingin melihat-lihat dahulu. Konsentrasi penuh pada bacaan membuatku tidak memperhatikan sekitar, 30 menit berlalu dan bacaanku telah selesai – Luna masih belum juga kelihatan batang hidungnya. Aku beranjak dari tempat dudukku, hendak mengembalikan novel itu pada tempatnya semula, kemudian berkeliling untuk mencari Luna. Belum lama aku berangkat dari tempat dudukku, seseorang memanggilku, aku berhenti sejenak sebelum membalikkan badan, memastikan bahwa panggilan itu benar ditujukan padaku.
“Puja”. Suara yang tidak asing didengar telingaku, memanggil untuk yang kedua kali. Aku membalikkan badan.
“Astaga, kamu benar-benar Puja. Aku kira aku salah orang, aku sudah lama cari kamu ja. Gila kali kamu ja, menghilang tanpa jejak sosmed di non aktifkan semua. Ga rindu apa kamu sama aku ?” Orang itu berpanjang lebar.
Aku menghela nafas sejenak sebelum menjawab pertanyaan nya.
“Oh, kebetulan handphone aku rusak. Jadi aku ga bisa hubungi kalian. Aku fikir kamu ikut Dody ke Jogja rupanya kita malah dipertemukan lagi di kota ini.” Jawabku sambil berjalan mengembalikan novel.
“Hahaa, dari awal aku memang ga tertarik ke luar Kalimantan ja, aku ambil jurusan Arsitektur disini. Akreditasinya ga kalah sama di Pulau seberang jadi ngapain harus jauh-jauh. Kamu kuliah apa ja ? Ga pernah cerita dulu mau ngambil apa.”
Pertanyannya sedikit tidak ku hiraukan karena sibuk mencari keberadaan Luna. Satu menit lamaya aku mengabaikan pertanyaan teman lama itu,kemudian menyapa Luna yang ternyata juga sibuk mencariku sejak tadi.
“Hey Lun, aku disini.”
“Oalah Puja, aku sudah berkeliling mencarimu. Yuk pulang, sepertinya mau hujan.”Luna menarik lenganku.
Aku mengangguk, dan kemudian pamit kepada teman lama itu.
“Rom, aku pulang dulu mungkin lain waktu kita bisa ngobrol banyak.”
“Pin mu ja.” Ia menyodorkan smartphone nya
Aku langsung pergi pulang bersama Luna setelah memberikan pin BB ku padanya.
Belum lama aku membujurkan badanku di kasur empuknya Luna, smartphone ku berbunyi. Sebuah nama tertera di layar “Romeo Putra Adinata would like to add you to his BlackBerry Messenger contact list” Aku memejamkan mata sambil menekan tombol “accept”.
Luna yang sejak tadi penasaran dengan tingkah anehku akhirnya angkat bicara.
“Tadi yang di toko buku siapa ja ? Sepertinya sudah kenal lama.”
Aku hanya menjawab singkat “Iya, dia teman lama.”
Dia lebih dari sekedar teman lama, bahkan separuh hidupku yang lama. Gumamku dalam hati.
“Sepertinya ada yang kamu sembunyikan ja, kamu aneh setelah bertemu orang itu. Eh tapi ganteng juga lo ja, lain kali kamu kenalin ke aku ya hahaha.” Tawa Luna pecah seketika.
Aku hanya menanggapi gurauan Luna dengan jawaban singkat. “Namanya Romeo, dia teman SMA ku dulu.”
Luna semakin penasaran dengan tingkah anehku yang tidak terlalu menggubris soal keingintahuannya tentang Romeo. “ Cieee, tampaknya ada yang mengingat masa lalu nih, ada apa sih ja ? Biasanya kamu selalu bersemangat bercerita tentang teman-teman lamamu.” Luna menggodaku yang sejak tadi sibuk mengotak-ngatik smartphone. “Emm aku hanya sedang tidak berselera untuk bercerita hari ini, apalagi meladeni wajah jomblomu yang luar biasa keponya itu Lun kalau sudah berhubungan dengan cowok ganteng hahahaa.” Tawaku pecah setelah berhasil membuat  jengkel Luna dengan jawaban ejekanku. Luna melemparkan boneka sapinya ke arahku, aku hanya tertawa dan balas melempar. Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di kamar kost ku yang berseblahan dengan kamar Luna.
                                                                        *
Ujian akhir perdana di tahun pertama kuliahku, sepertinya tidak membuatku  terlalu bersemangat menghadapinya. Masih seperti biasa, selalu santai menghadapi ujian – meskipun begitu bukan berarti tidak mempunyai persiapan. Belajar pada waktu dini hari merupakan salah satu kebiaasanku dalam menghadapi ujian. Belum sampai sepuluh menit aku menemukan konsentrasi untuk memahami materi-materi Hukum Pidana yang akan di ujiankan besok, benda sialan itu menggangu konsentrasiku karena sejak tadi berbunyi dan bergetar – menandakan ada orang yang menghubungiku lewat BalckBerry Messenger. Aku bergumam sendiri, siapa pula yang menghubungiku pukul tiga dini hari ? Padahal aku sama sekali tidak memberikan petunjuk kalau aku sudah bangun sepagi ini. Karena penasaran, langsung ku ambil smarthphone ku, membuka pesannya, dan betapa terkejutnya aku.
Romeo Putra
PING!!!
PING!!!
PING!!!
Selamat ujian puja, aku tau kamu sudah bangun sepagi ini untuk belajar
Ohh ya, aku pengen ngobrol nih kapan bisa jalan bareng ???

Seketika semangatku luntur. Aku terdiam sejenak, mengumpulkan niat untuk membalas BBM Romeo. Akhirnya atas nama persahabatan, aku berusaha untuk bersikap biasa saja, meski sebenarnya ini jelas menghancurkan tekadku berkeping-keping.


Dewi Puja
Thanks yaa Rom , rupanya Meo masih inget juga kebiasaan Pujaa. Ntar sore puja free kok habis ujian.

Tidak sampai lima menit, BBm Meo sudah masuk.

Romeo Putra
Haha mana mungkin lupa sih, kita kenal udah berapa lama ? Ehh nonton yukk, ntar aku yang traktir deh, rindu banget sama Puja hehehe 

Aku hanya bisa diam, kemudian bingung, tidak tau harus berbuat apa. Rasa bahagia bercampur dengan rasa pesimis mengahantuiku saat ini. Bahagia karena bisa akrab lagi dengan Romeo, dan pesimis takut kalau semua itu terulang kembali. Sekitar dua puluh menit menimbang-nimbang akhirnya aku menerima ajakan Romeo

Dewi Puja
Oh boleh, besok kamu jemput aku di kampus aja yaa. Di Fakultas Hukum hehee 

Akhirnya, Romeo berhasil menggagalkan misi belajarku pagi ini. Sekaligus berhasil mengancurkan “move on” ku yang sejak awal memang susah payah ku lakukan.
                                                                        *
Rintik hujan yang jatuh menimpa genteng masih terdengar samar dari pendengaranku, diikuti pula dengan suara riyuh jangkrik-jangkrik yang sedang bersenda gurau meramaikan malam. Pukul 00.41 menit, mataku masih enggan berdamai dengan keharusannya untuk mengatup. Ini adalah pertama kalinya aku kembali susah tidur setelah berada di rumah dan kamar tercinta ini. Entah mengapa otakku enggan berhenti untuk memikirkan sosok manusia yang memang ku akui ataupun tidak, adalah bagian dari hidupku. Beberapa hari ini pertanyaan itu kembali menghantuiku, tiga tahun yang lalu tidaklah berbeda dengan sekarang, masih sama, seribu kali masih sama. Sejak acara nonton bareng sore itu, aku dan Romeo kembali seperti dulu. Sore itu bagaikan sebuah acara nostalgia yang kemudian mengembalikan semuanya persis sama dengan keadaan semula. Tak ubahnya dengan perasaan itu. Aku kembali membiarkannya menjadi bagian dari hidupku. Dulu, dengan polosnya aku membuka pintu hatiku untuk seorang pria. Sejak aku mengenal lawan jenis, pandangan pertama di parkiran sekolah itu lah yang kemudian membuat hari-hariku berwarna. Waktu itu parkiran penuh, dan tubuh kecilku tidak mampu menahan keseimbangan saat ingin mengeluarkan sepeda motor dari selasar parkiran yang sesak dan penuh. Romeo yang kebetulan juga ingin mengeluarkan motornya, menolongku yang sudah tertimpa motor. Itu adalah awal perkenalan kami di hari pertama masuk sekolah. Selang satu minggu setelah Masa Orientasi Siswa, kebetulan itu terjadi lagi – aku dan Romeo ternyata satu kelas. Sejak saat itu, aku menjadi teman baiknya. Kita sering menghabiskan waktu bersama, mengikuti ekstrakurikuler yang sama, les di tempat yang sama, semuanya dilalui bersama-sama. Setahun bersama sedekat itu, baru membuat ku sadar bahwa apa yang kurasakan pada Meo bukanlah perasaan biasa. Terkadang aku bisa terlihat cemburu saat dia bercanda dengan  perempuan lain, terkadang juga ada perasaan bahagia yang luar biasa ketika Meo berhasil meraih apa yang diimpikannya. Bahkan jika ia hanya tertawa lepas karena berhasil mengejekku habis-habisan pun aku bisa merasakan kebahagiaannya. Tahun kedua pun berlalu, aku semakin yakin dengan apa yang aku raskan pada Meo. Sementara Meo masih belum menunjukkan kejelasan mengenai kedekatan kami. Apakah persahabatan kami terlalu dekat ? Atau semua rasa yang dilalui bersama itu kemudian hanya berarti persahabatan ? Tidak bisa lebih ? Entahlah yang jelas aku mulai gerah menyimpan semua rasa yang mulai mengganggu konsentrasiku pada Ujian Nasional yang tinggal beberapa bulan lagi. Akhirnya aku mengumpulkan seribu keyakinan yang memberikanku keberanian untuk menyatakan apa yang aku rasakan selama ini pada Meo. Hari itu adalah ulang tahun Meo, moment yang pas untuk memperjelas semua yang samar selama ini.
Hari itu, 23 Oktober. Hujan masih membasahi jalanan kota Sintang yang berdebu. Aku masih menunggu Romeo yang berjanji menemuiku di koridor utama sekolah. Dengan satu buah cupcake berukuran sedang dan lilin angka 17 diatasnya, juga korek gas yang sudah aku siapkan di saku rok abu-abuku. Ku fikir ini akan menjadi sebuah perayaan sederhana yang berkesan untuk Meo. 30 menit berlalu, akhirnya Meo datang menghampiriku dengan napas yang tersengal karena sedikit berlalari. Aku langsung menghidupkan lilin dan memberikan cupcake itu pada Meo.
“Selamat Ulang Tahun Romeo, semoga makan-makan.”
Romeo bersemangat meniup lilin dari cupcake yang masih kupegang.
 “Terimakasih yaa Puja bawel, cerewet, jelek. Tapi do’a nya itu lo, haduhhh.” Romeo mencubit pipi tembem ku.
Aku hanya tertawa kecil.” Jadi kita makan dimana ?”
“Soal makan itu gampang, kamu mau makan apapun aku traktir deh, adayang lebih penting dibanding itu.”
“Ahh seriusan nih ? Apaan yang lebih penting ?” Tanyaku tak percaya sekaligus ingin tahu.
Sambil mengenakan jaket hitam berbahan parasut yang sejak tadi menggantung di bahunya, Romeo menjelaskan.
“Temenin aku cari boneka ya, malu dong aku pergi ke toko boneka. Lagian aku ga tau cewek sukanya boneka yang kaya gimana.”
Aku yang sejak tadi sibuk dengan permen karet di mulutku, berhenti mengunyah.
“Kamu mau cariin boneka buat siapa?” Tanyaku penasaran.
Romeo tersenyum begitu bahagia. Namun dalam senyum manis yang selalu menyejukkan hati itu, kali ini terasa ada yang berbeda. Ada sebuah guncangan hebat yang meruntuhkan keyakinan hatiku sebelumnya.
“Buat seseorang yang sangat special dalam hidup aku.”
Kali ini bukan hanya keyakinanku yang runtuh tetapi juga harapan yang hancur berkeping-keping.
Sejak saat itu aku memutuskan untuk mengubur dalam-dalam perasaan gila itu. Sejak kejadian itu pula, kedekatan aku dan Meo jelas berubah. Meo banyak mengahbiskan waktunya bersama Rini – pacar barunya yang juga teman sebangku ku. Berberapa minggu menjelang Ujian Nasional aku benar-benar berada dalam keadaan terpuruk. Begitu besar akibat dari patah hatiku kali ini, mungkin sebesar cinta yang harus ku kubur dalam-dalam pada Meo. Aku bukan Puja yang selalu ceria seperti biasanya, belajar efektifku terganggu dan semakin sedikit hari yang tersisa di sekolah semakin membuatku enggan untuk pergi ke sekolah. Sebenarnya aku sengaja menjauhi Meo, dia sendiri sudah berusaha untuk menghubungiku, tapi rasa sesal becampur rasa sakit hati yang tidak bisa ku kendalikan membuat aku memilih untuk tidak berhubungan dengan Meo. Aku kecewa, seharusnya kalau Meo menganggapku sahabatnya, ia pasti menceritakan tentang Rini. Dan Rini juga tidak pernah berkeluh kalau dia menyukai sahabatku sendiri. Entahlah sepertinya mereka sengaja menjebakku dengan perasaan dan keadaan yang seolah mendukungku selama ini.
Dan sekarang, setelah aku cukup berhasil untuk melupakan semua harapan besar itu dengan gampangnya kemudian Meo masuk lagi dalam kehidupanku. Entah apa maksud dari ini semua, akankah ini semua hanya pelarian tanpa ujung ?
Aku menyeka air mata yang ternyata sudah mengalir sejak tadi, membasahi bantal yang kupakai. Pikiranku benar-benar sesak oleh kenangan. Kepalaku benar-benar penuh dengan pertanyaan. Dan hatiku benar-benar utuh dengan harapan. Harapan yang dulu sempat ku padamkan, kini menyala secara perlahan seiring dengan kedekatan-kedekatan yang tidak biasa. Yaaa aku masih mencintainya.
                                                                        *
“Pitt...pittttt”
Suara klakson mobil Romeo, menandakan bahwa Ia telah datang menjemputku. Aku bergegas meraih tas, sepatu dan kemudian mengunci rumah kontrakan baruku karena teman satu kontrakanku juga tidak berada di rumah sejak tadi. Hari ini Romeo mengajakku makan malam, katanya ada yang ingin dibicarakan. Kebetulan, aku juga sudah membulatkan tekad untuk menyampaikan perasaanku pada Meo. Karena tahun ini adalah tahun ketiga kuliahku, dan aku ingin berkonsentrasi untuk menyusun skripsi jadi aku memutuskan untuk memperjelas hubungan ini pada Meo. Aku memutuskan untuk berterus terang. Perihal tanggapan dan jawaban Meo itu urusan belakangan. Yang penting aku tidak dihantui lagi oleh perasaan ini.
Mobil Meo melaju melewati jalanan kota Pontianak yang lengang. Pukul 20.00 WIB, belum terlalu malam, tapi dikarenakan malam ini turun hujan, aktifitas masyarakat kota Pontianak tidak terlihat ramai di jalanan. Kami menuju ke arah Selatan kota, singgah di sebuah Rumah Makan Seafood. Selama perjalanan aku memilih diam memperhatikan rintik hujan lewat kaca mobil Meo, sementara Meo sibuk mengendarai mobil. Suasana malam ini terasa begitu dingin, sama dengan cuaca diluar. Aku dan Meo terlanjur sibuk dengan pikiran masing-masing mungkin juga saling menerka dan menganalisa.
Akhirnya setelah memesan makanan, Meo memulai pembicaraan. Sepertinya suasana hatinya pun sedang tidak enak malam ini. Tidak biasanya Ia hanya diam dan menyerahkan pilihan makanan itu padaku, biasanya Ia selalu cerewet soal makan.
“Puja, aku mau jujur.” Meo memperbaiki duduknya.
Aku masih diam melongo, menikmati dingin nya cuaca setelah hujan. Sedikit tidak berselera menanggapi pembicaraan Meo namun tetap mengangguk tanda bersedia mendengarkan.
“Kita dekat udah lama, kemana-mana sama-sama. Segalanya kamu tau tentang aku, kebiasaan aku, bahkan kamu tau gimana caranya menghadapi sifat burukku.”
Pengakuan itu berhenti, karena pesanan kami datang. Lima menit setelah pelayan itu beranjak dari meja kami, Meo masih belum melanjutkan penjelasannya. Sementara aku masih menunggu dengan penasaran. Apakah Romeo yang akan menyampaikan perasaannya terlebih dahulu ? Apakah dia telah sadar ?
“Sebagai sahabat aku kamu harus tau ini, aku baru sebulan yang lalu pacaran dengannya tapi aku udah ngerasa cocok dan aku pengen tunangan.” Meo terlihat susah payah menyusun kalimat penjelasannya.
Seketika kau merasakan kehancuran yang kedua kalinya, kali ini lebih hancur dari 4 tahun yang lalu. Aku tidak sanggup lagi membendung air mataku yang saat ini sudah mengalir deras tanpa memperdulikan Meo yang mungkin saja bingung dengan tangisanku.
“Kita tetap bisa pergi bareng kok, besok aku kenalin kamu sama dia. Dia orangnya asyik kok, kamu jangan khawatir.” Meo mendekatkan kursinya ke arahku.
“Kenapa kamu ga pernah mau cerita kalau lagi deket sama cewek ? Kenapa aku taunya setelah kamu jadian bahkan sekarang mau tunangan ?”
“Aku ga mau kamu kayak dulu lagi, menghindar dari aku setelah tau aku punya pacar. Kamu temen yang baik ja, aku ga mau kehilangan sahabat seperti kamu.” Romeo meyakinkanku.
Tangisku semakin pecah setelah mendengar pengakuan Romeo barusan. Apa ? Dia tidak mau kehilanganku ? Apa dia tidak pernah berfikir tentang perasaanku ? Aku membatin sendiri. Mengumpat orang di hadapanku ini dalam hati.
“Kamu ga pernah berfikir tentang perasaanku ? Tentang kedekatan kita ? Hei, aku bahkan lupa kita tidak pernah membicarakan perasaan selama ini.”
“Kedekatan ? Apa yang kamu maksud ? Kita bersahabat baik selama ini, apa kau menganggapnya lebih ?” Romeo menatapku tajam.
Aku semakin hancur. Oh Tuhan, bahkan Ia tidak pernah mengira aku akan suka padanya. Dia baru menyadarinya, benar-benar lelaki yang bodoh. Ah bukan, akulah perempuan bodoh.
Aku menarik nafas panjang.
“Baik, sejak awal memang aku yang salah. Memang aku yang tidak tau diri, seharusnya aku sadar sejak dulu bahwa hubungan kita ini hanya teman dan tidak akan mungkin lebih. Seharusnya sejak awal aku sudah menyederhanakn perasaanku, tidak membiarkannya mengendalikanku membawaku sejauh ini. Kau bahkan baru menyadarinya malam ini”
Romeo menatapku iba, mendekatkan kursinya disampingku dan kemudian membiarkan aku menangis di pelukannya. Sudah jelas semua yang ku katakan, aku pun tak sanggup lagi melanjutkan semuanya. Hanya bisa menangis, menumpahkan perasaanku di pelukan orang yang selalu menjadi penyemangat hidupku tapi untuk kesekiankalinya juga membuat harapanku padam, gelap gulita taku ubahnya seperti saat ini.
“Puja, kenapa kamu ga pernah bilang dari dulu ? Aku bahkan telah terlanjur menganggap semuanya biasa, terlanjur nyaman dengan keadaan kita yang seperti ini. Tak ingin berubah.”
“Aku memang egois, tidak pernah mau kehilangan kamu tapi juga sibuk mencari cinta yang lain. Entahlah Puja, sampai sejauh ini aku pun sebenarnya tidak pernah cukup mengerti tentang hubungan kita selama ini. Mungkin persahabatan ini terlalu indah, sehingga aku tidak rela menukarnya dengan cinta yang aku sendiri belum menemukannya secara utuh. Aku masih mencarinya.” Romeo melepaskan pelukannya.
Akhirnya malam itu berlalu dengan dingin, setelah percakapan itu Romeo mengantarku pulang. Tidak ada percakapan sama sekali selama di mobil, hanya tatapan dingin penuh makna dari Meo yang mengantarku masuk ke dalam kontrakan. Sejak malam itu, kami memutuskan untuk tidak bertemu. Untuk terakhir kalinya juga, aku mencoba untuk melupakan perasaan hebat itu. Setidaknya pun aku sudah lega karena telah menyampaikannya pada Meo, dan sekarang aku bisa fokus dengan skripsiku.
                                                                        *
Setahun berlalu begitu cepat, secepat harapan-harapan itu sirna ditelan kesibukan dan konsentrasi pada skripsi yang diawali dengan niat sepenuhnya untuk melupakan perasaan pada Meo. Mungkin aku berhasil mengurangi perasaan itu, setidaknya dengan tidak pernah berhubungan dekat lagi bisa mempermudah semua langkahku. Meski tidak kupungkiri, masih ada perasaan sesak yang menyelinap bahkan ketika hanya melihat punggung Meo dari kejauhan. Pemilik badan proposional itu, bagaimana mungkin aku melupakan nyamannya berada di dekatnya, bagaimana mungkin aku melupakan suara beratnya yang selalu menenangkan setiap suasana ?
Hari ini kuharap menjadi akhir dari semua perjuanganku melawan perasaan bodoh ini. Menjadi awal untuk memulai hidup baru, dengan harapan - harapan dan cinta yang baru. Melupakan masa lalu, melangkah pasti kedepan. Sudah cukup lelah bertahun-tahun bermain dengan harapan, menerka-nerka penjelasan. Sudah saatnya semua penantian percuma ini dibayar dengan satu hal yang lebih pasti. Cinta yang baru, meski belum terlihat tapi janji itu nyata dan aku hanya perlu mempercayainya.
Aku melangkah mantap memasuki gedung auditorium Universitas Tanjungpura yang sudah ramai dipenuhi peserta wisuda dari 9 Fakultas yang ada. Juga di padati oleh para anggota keluarga, sanak saudara yang ikut menyaksikan prosesi sakral yang menjadi kebanggan para orang tua. Tidak luput juga, para pedagang makanan dan minuman juga penjual bunga dan pernak-pernik lainnya yang semakin membuat sesak gedung itu. Setelah beberapa jam melalui proses, akhirnya acara sakral itu berakhrir. Aku menghembuskan nafas lega. Akhirnya hatiku benar-benar damai sekarang, aku bisa melanjutkan hidupku dengan harapan yang lebih baik.
Ditengah sesak penuhnya auditorium ini, pandanganku tertuju pada sebuah meja di pojok tenda biru yang menjual berbagai makanan itu. Dua orang yang sangat aku sayang sudah menunggu disana. Aku sudah tidak sabar menemui mereka. Namun langkahku terhenti ketika menyadari orang yang duduk dan sedang berbincang dengan orangtuaku itu adalah orang yang sangat ku kenal dekat selama ini. Ah hatiku tiba-tiba bergetar, langkahku mendadak gontai. Berharap tidak ada hal menyakitkan yang akan merusak kebahagiaanku hari ini. Secara perlahan aku mendekati mereka.
Belum sempat aku memeluk kedua orangtuaku untuk melampiaskan rasa bahagia dan ucapan teriakasih atas dukungan mereka. Orang yang duduk bersama kedua orangtuaku tadi langsung beranjak dari tempat duduknya dan memelukku erat. Aku seketika menangis, perasaanku tidak karuan , apa maksud semua ini ? Kenapa dia muncul lagi ? Bukankah hari ini aku sudah memutuskan untuk melupakannya selamanya ? Oh Tuhan, kenapa tak pernah kau restui aku untuk melupakannya ?
“Aku sudah menemukan cinta itu. Tolong jangan tinggalkan aku, tetap jadi temanku Puja. Teman hidupku selamanya.”
Oh Tuhan, untuk kesekian kalinya bentengku runtuh. Semoga kelak Kau tidak memaksaku membangun benteng itu lagi.
                                                                        ***







 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pernahkah Kau Merasa dipeluk Oleh Sebuah Lagu ?

Jurnal Harum #2 Bertemu di April ; banyak hal yang layak ditinggalkan

Jurnal Harum #1 layaknya menyapa sahabat pena